
Tujuh kriteria dari fungsi DAS yang berhubungan dengan karakteristik lokasi dan aliran sungai,relevansinya dengan multi pihak yang tinggal di daerah hilir serta beberapa indikatornya.
"SEDIKITNYA KEPEDULIAN KITA AKAN BERARTI BESAR BAGI KEBERLANGSUNGAN KEHIDUPAN ALAM SEMESTA" KOMUNITAS GREEN CHEMISTRY ADALAH SUATU WADAH YANG DI TUJUKAN UNTUK MENDISKUSIKAN, MEWACANAKAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN KHUSUSNYA YANG TERJADI DI INDONESIA DAN DI DUNIA PADA UMUMNYA
Definisi zeolit menurut ahli Kristalografi berkebangsaan Amerika Serikat yaitu, Prof. J.V Smith pada 1984 adalah :
"A zeolite is an aluminosilicate with a framework structure enclosing cavities occupied by large ions and water molecules, both of which have considerable freedom of movement, permitting ion-exchange and reversible dehydration".
(Kristal Alumino Silikat yang mempunyai struktur sangkar tiga dimensi (framework), mempunyai Rongga (cavity), dan saluran (Channel) yang mengandung kation Logam alkali dan alkali tanah (Na, K, Mg, Ca,), serta molekul air.
Pada tahun 1756 seorang ilmuwan mineral asal Swedia Axel Cronstedt, menemukan sejenis mineral stilbite yang kemudian diketahui sebagai zeolit dengan tipe STI. Mineral ini bila dipanaskan akan mengeluarkan gelembung-gelembung udara seprti batuan mendidih (boiling stone) hal ini disebabkan karena proses kehilangan molekul air (dehidrasi) dari mineral tersebut. Di kemudian hari mineral itu disebut sebagai zeolit didalam bahasa Yunani. Zeni atau zeo" dan Lithos" yang berarti batu yang mendidih, karena apabila dipanaskan akan membuih dan mengeluarkan air (Breck, 1974 dalam Lefond, 1983).
Pada tahun 1840, Damour seorang peneliti Mineral yang pertama kali mengemukakan bahwa mineral zeolit mempunyai kemampuan sebagai adsorben. Ia mengamati bahwa mineral zeolit dapat di dehidrasi secara reversibel tanpa menunjukkan adanya perubahan morfologi. Kemudian pengamatan berlanjut pada kemampuan zeolit untuk melakukan pertukaran ion (ion exchange) oleh Eichorn pada tahun 1858. Setelah itu Weighel dan Steinhoff pada tahun 1925 melaporkan bahwa chabasite dapat mengadsorpsi secara selektif molekul-molekul senyawa organik berukuran kecil dalam campurannya dengan molekul-molekul besar. Menyusul kemudian penemuan oleh Mc Bain pada tahun 1932 yang melakukan uji coba pemanasan mineral zeolit (aktivasi) dan memperoleh zeolit yang dapat menyerap molekul-molekul gas dengan ukuran partikel tertentu.
Penemuan mineral zeolit tidak terbatas pada zeolit alam saja. Pada tahun 1959 Break dan Milton berhasil mensintesis zeolit-A, dan dalam selang waktu yang singkat diikuti sintesis zeolit X dan Y. Kemudian dalam beberapa tahun berikutnya penelitian tentang mineral zeolit terus dilakukan. Hingga pada tahun 1977 ditemukan deposit (cadangan mineral) zeolit yang melimpah di USA, Rusia, Jepang, Australia, Kuba dan sebagian Eropa timur
Sementara di Indonesia sendiri zeolit baru ditemukan pada tahun 1985 oleh Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) Bandung dalam jumlah besar terutama dari jenis zeolit clipnotilolite dan mordenite, yang penyebarannya hampir merata di beberapa daerah di pulau Sumatra dan pulau Jawa.
“Yes, we have to divide up our time like that, between our politics and our equations. But to me our equations are far more important, for politics are only a matter of present concern. A mathematical equation stands forever.”
“There is a mysterious cycle in human events. To some generations, much is given, of other generations, much is expected. This generation of Americans has a rendezvous
with destiny.”
Untuk mengetahui dampak kesehatan dan apakah substansi yang menjadi sumber perdebatan MSG itu, terlebih dahulu perlu diketahui jenis-jenis bahan tambahan makanan dan minuman (zat additive) yang berkembang saat ini. Sehingga ada sebaiknya perlu diluruskan terlebh dahulu antara zat aditif dengan zat adiktif itu, Karena ada kesan bahwa yang pada awalnya hanya ditambahkan guna memperbaki sifat fisika maupun kimia bahan pangan/minuman tertentu (additive), berlanjut menjadi persoalan addictive (mengakibatkan kecanduan). Dalam hal ini MSG digunakan sebagai penguat rasa yang biasa ditambahkan pada makanan, misalnya, makanan cepat saji, capcay, bakso, sup, nasi goreng, mie ayam, bumbu mie instant dan seterusnya. MSG digolongkan sebagai FLAVOR. Flavor adalah suatu bahan yang ditambahkan untuk membuat produk menjadi mantap atau lezat serta menguatkan cita rasa. Jenis flavor itu sendiri adalah :
1. Full/complete flavor adalah jenis flavor yang dapat menghasilkan atau menimbulkan bentuk flavor yang khas dan lengkap contoh : flavor buah-buahan : strawbery
2. Flavor enhancer/flavor, modifier/flavor entensifier adalah flavor yang dtambahkan untuk memperkuat dan membangkitkan flavor lain. Contoh : asetaldehid dapat membangkitkan flavor jeruk
3. Flavor EXTENDER adalah jenis flavor yang tidak memiliki rasa tetapi dapat mereduksi rasa lain yang tidak menguntungkan. Contoh : flavor pada bubuk coklat
4. Flavor potensiator adalah flavor yang dapat meningkatkan rasa yang diinginkan dan dapat menekan rasa yang tidak diinginkan contoh : MSG, IMP, GMP.
Pada pembahasan kali ini hanya sedikit dijelaskan salah satu contoh flavoring agent yang sangat kita kenal yaitu monosodium glutamat (MSG) atau biasa dikenal vetsin.
MSG/VETSIN
Pada Tahun 1970, 1973 dan 1987 Organisasi Kesehatan dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dua organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (UNO) menyatakan bahwa keamanan MSG bagi manusia tidak perlu diragukan lagi, sekalipun mungkin masih ada sekelompok kecil orang tertentu yang belum mengetahui hal ini. Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) merasa perlu, walaupun secara singkat, untuk memberikan penerangan yang benar perihal MSG (monosodium glutamat) atau lebih dikenal dengan nama Vetsin.
APAKAH MSG ATAU VETSIN ITU?
MSG (monosodium glutamat) atau mononatrium glutamat adalah garam sodium dari asam glutamat. Asam glutamat adalah suatu asam amino yang merupakan salah satu komponen penting protein yang dibutuhkan tubuh kita. Secara alami asam glutamat terdapat dalam makanan kita sehari-hari seperti daging, ikan, telur, susu (termasuk ASI), keju, tomat dan berbagai macam sayuran. Berikut ini reaksi sintesis MSG :
BAHAN BAKU MSG
Bahan baku MSG yang dibuat di Indonesia, umumnya berasal dari tetes tebu (molases). Molases merupakan hasil sampingan dari penggilingan gula, terutama gula pasir yang banyak di produksi di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah . MSG juga diketahui dibuat dari bahan nabati lyang lain, seperti tapioka dan sejenisnya. Jadi jelas, MSG yang dibuat di Indonesia, berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan) yang dibuat melalui proses peragian (fermentasi). Pernah terdengar desas-desus bahwa di luar negeri ada MSG yang diolah dari bahan baku sisa minyak bumi. Desas-desus ini perlu dibantah karena tidak benar.
MANFAAT MSG SEBAGAI PENGUAT CITA RASA
MSG menguatkan rasa atau aroma bahan makanan pokok itu sendiri. Manfaat lainnya adalah menghilangkan rasa tidak enak yang terdapat pada bahan makanan tertentu, misalnya menghilangkan rasa ‘langu kentang’. Namun, tidak berarti bahwa MSG dapat menghilangkan rasa tidak enak bahan makanan yang sudah rusak. MSG mudah larut dalam air. Keunikan MSG adalah, selain sebagai penguat cita rasa, bila dimakan, dalam tubuh manusia mudah bersenyawa dengan asam amino lainnya dan akan membentuk protein.
ISU "CHINESE RESTAURANT SYNDROME"
Pada tahun 1968 seorang dokter bernama Ho Man Kwok menulis dalam Ruang Surat Pembaca pada suatu majalah kedokteran, ia mengisahkan pengalamannya (bukan hasil penelitian ilmiah!) berupa rasa mual, kaku pada leher dan pening setelah makan di salah satu restoran Cina. Gejala-gejala ini kemudian dikenal dengan "Chinese Restaurant Syndrome" (CRS) atau "sindrome Restoran Cina". Pengalaman Dokter Kwok itu menarik perhatian banyak orang. Sejak itu para ilmuwan mulai mengadakan penelitian-penelitian. Hasil penelitian-penelitian itu kemudian diajukan dalam suatu Simposium Internasional yang diselenggarakan di Milan, Italia, tahun 1978 dan di Bergamo, Italia, tahun 1998.
MSG : AMAN BAGl MANUSIA
Para peneliti telah membuktikan bahwa MSG aman bagi manusia.
A. Penelitian di Luar Negeri :
1. National Academy of Science (NAS) dan National Research Council (NRC) di Amerika Serikat, tahun 1979.
2. Joint WUO/FAO Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari Perserikatan Bangsa-bangsa, tahun 1970 dan 1973.
3. Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) di Amerika Serikat, tahun 1995.
HASIL PENELITIAN
Panitia gabungan para pakar WHO dan FAO mengenai bahan tambahan pangan mengumumkan hasil penelitian mereka:
a) Pada tahun 1970 dan 1973 menyatakan bahwa MSG aman bagi manusia dan boleh digunakan sebagai bahan tambahan pangan (food additives)
b) Pada tahun 1970, semata-mata karena alasan bahwa sebaiknya kita hati-hati, JECFA menganjurkan, agar MSG tidak diberikan kepada bayi berusia di bawah 12 minggu (3 bulan).
c) JECFA menetapkan angka ADI (Acceptable Daily Intake), yaitu jumlah maksimal yang boleh dikonsumsi seseorang setiap hari, yaitu 120 mg/kg berat badan untuk asam glutamat atau 153 mg/kg berat badan untuk monosodium glutamat. Berarti, seseorang yang mempunyai berat badan 60 kg boleh menggunakan MSG sebanyak 60 x 153 mg = 9.180 mg = 9,1 g (gram) setiap hari, sepanjang hidupnya.
d) Sekalipun IOCU (Organisasi Konsumen Internasioinal) mendesak, agar WHO/FAO meninjau kembali ADI yang telah ditetapkan JECFA, sebab menurut mereka angka itu terlalu tinggi, dalam sidang ke 31 JECFA, Februari 1987 (diumumkan dalam Sidang CCFA, Den Haag, Maret 1987) dihasilkan 2 keputusan yang besar sekali artinya bagi dunia pangan :
(1) ADI 120 mg/kg berat badan dihapus.
2) Anjuran pembatasan konsumsi MSG bagi bayi berusia di bawah 12 minggu dihapus.
Keputusan JECFA memang mempunyai landasan yang kuat. "Sejak tahun 1970 telah dilakukan puluhan penelitian terhadap mencit, marmut, monyet dan manusia. Namun tetap kesimpulan dari Semua penelitian menunjukkan hasil yang meyakinkan bahwa MSG aman untuk dikonsumsi manusia.
Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa metabolisme pada bayi terhadap MSG tidak berbeda dari metabolisme pada manusia dewasa terhadap MSG. Sekalipun demikian, JECFA tetap menganjurkan, agar pemberian bahan tambahan pangan apapun pada makanan bayi dilakukan secara hati-hati. Jumlahnya hendaknya sesedikit mungkin. Keputusan JECFA sungguh telah menghapus keragu-raguan terhadap keamanan penggunaan MSG, baik bagi manusia dewasa maupun bagi bayi. Dengan demikian menghapus pula dugaan akan kemungkinan timbulnya gangguan terhadap retina mata dan otak yang bisa mengakibatkan bloon, kanker dan sebagainya.
Pernyataan Masyarakat Eropa dimana Komite Masyarakat Eropa tersebut terdiri dari pakar yang tidak terikat (independent) dan ahli di bidang obat-obatan, gizi, toksikologi, biologi dan kimia. Pada bulan Juni 1991 Komite Masyarakat Eropa menegaskan bahwa MSG aman bagi manusia. Selain itu, Komite Masyarakat Eropa tidak menemukan bukti toksis yang disebabkan penggunaan MSG. Mereka menyatakan bahwa studi toksisitas, akut dan kronik, pada tikus dan anjing tidak memperlihatkan efek toksis yang spesifik. Pernyataan terakhir ini sama dengan pernyataan yang dikeluarkan JECFA.
Resolusi AMA. AMA (Perkumpulan Dokter Amerika), beranggotakan lebih dari 270.000 dokter, telah mengeluarkan suatu resolusi yang mendukung keamanan MSG untuk dikonsumsi sebagai peryedap makanan (Pertemuan yang diselenggarakan di Chicago, Amurika Serikat, Juni 1992).
B. Penelitian Dalam Negeri
Di Indonesia makanan dan minuman selalu diteliti dan diawasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 235/MENKES/PER/VI/79 tanggal 1979 menetapkan bahwa MSG/Vetsin boleh dipakai secukupnya.
MSG JUGA HALAL, DAN TERJAMIN MUTUNYA
Halal Sebagaimana telah dijelaskan pada awal ulasan ini, MSG yang dibuat di Indonesia, berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan) yang dibuat melalui proses peragian. Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan memang terbukti bahwa dalam pembuatan MSG tidak digunakan unsur hewani. Pada tahun 1962 Fatwa No. XIV dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' yang diketuai Dr Med. Ahmad Ramali menyatakan bahwa Vetsin sebagai Bahan Penyedap adalah halal, dimana di dalamnya tidak terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan ("Vetsin Sebagai Penyedap Ditinjau Dari sudut Hukum Islam Dan Ilmu Kedokteran"- Fatwa XIV oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara, Departemen Kesehatan RI, Djakarta, 1962).
Semua pabrik MSG/Vetsin, anggota P2MI, telah memperoleh Sertifikat Halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kehalalan suatu produk pangan diinformasikan produsen kepada konsumen melalui label halal yang dicantumkan pada kemasan. Mutu MSG terus menerus diawasi dan diharuskan memenuhi syarat mutu sesuai dengan :
a) Persyaratan mutu yang ditetapkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
b) Persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (SII).
c) Standar Nasional Indonesia (SNI).
d) Standar Mutu Internasional.
Sekian paper singkat ini saya informasikan mengenai MSG/Vetsin, penguat cita rasa yang dikenal semua Ibu Rumah Tangga. Perlu dicatat di sini, konsumsi MSG per kapita penduduk Indonesia jauh di bawah konsumsi MSG di Jepang, Taiwan dan Korea pada saat ini. (MAA)
DAFTAR PUSTAKA
Chaudry, Muhammad & Riaz, mian. Halal food production. Washington DC USA CRS press:.2004
Fesenden, fessenden. Kimia organik edisi ketiga. Jakarta. Erlangga: 1982
Muawanah, ana, Foto kopi perkuliahan kimia aditif. Jakarta Fakultas Sains dan Teknologi UIN : 2007
MAA, 2009, www.komunitasgreenchemistry.blogspot.com
www.halalguide.com
www.wikipedia.com
PARA PENGGALI KUBURANNYA SENDIRI
Hans Jonas seorang ahli filsafat abad-20 berkebangsaan Jerman-Amerika dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1979, mengungkapkan titik balik dari kemajuan teknologi. Dimana ia mengingatkan kita bahwa manusia sendirilah yang sedang menggali kuburan umat manusia dan ekosistem dunia. Didasarkan atas perilaku saat ini yang terus berproduksi dan berkonsumsi tanpa henti dan tidak bertanggung jawab terhadap dampak samping yang ditimbulkan akibatnya. Ia mengingatkan bahwa semestinya keadaan ini menimbulkan kesadaran kita untuk dapat mengubah cara hidup guna mencegah terjadinya kehancuran ekosistem bumi. Pada akhirynya perilaku konsumtif-lah yang menjadikan manusia terus menghasilkan sampah dalam jumlah besar.
Agama menganjurkan kebaikan tidak hanya kepada sesama melainkan pada tempat dimana terdapat kehidupan, yang antar lain ditegaskan perintah-perintahnya , yaitu:
Islam
'Janganlah merusak di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Tapi serulah Ia dengan ketakutan dan kerinduan. Sungguh rahmat Allah dekat kepada orang yang berbuat kebaikan (QS Al A'raf, 56)
Kristen
'Tumbuhlah dan berkembang biaklah, dan isilah serta taklukkanlah bumi ini, dan kuasaialah ikan di laut, dan arus udara, dan segenap makhlup hidup yang bergerak di bumi' (Genesis, Bab awal Perjanjian Lama, ayat 28)
Hindu
Agama Hidu menerima konsep bahwa alam adalah 'Ibu Pertiwi', ibu dari semua ibu. Hindu memandang alam sebagai guru, yang memperkaya manusia dengan kearifannya.
Budha
Sang Budha mengajarkan untuk hidup di jalan yang benar dalam keselarasan dengan alam. Pelestarian alam adalah tugas yang harus dilaksanakan oleh semua orang. Apabila manusia/masyarakat bertindak tidak bermoral termasuk merusak alam, pasti akan terjadi akibat yang menyebabkan bencana alam.(ESP, 2008)
Lebih lanjutnya, pembuangan samapah akhir sungguh diartikan hanya didasarkan pada maksud dan tujuannya, menjadikan persemayaman terakhir bagi sampah-sampah. Kenyataannya sampah belum juga tereduksi secara signifikan dalam artian pada jumlah dan jenis serta dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya. Program dunia tentang reduce, reuse, recycle manjadi satu-satunya "jargon" pertama yang di munculkan di dunia. Tanpa disadari akan banyak menemukan dampak yang lanjutannya. Karena yang terjadi adalah hanya bentuk transformasinya, dimana sifat dan jejak dari sampah masih terlihat. Misalnya rembesan lindi (leachate) menuju ke air tanah, penggunaan kembali (reuse) secara berulang-ulang dan mendaur ulang bahan bekas menjadi suatu produk (recycle) tanpa di identifikasi riwayat asalnya dan seterusnya. Semua itu menjadi masalah tersendiri, walaupun pada kenyataannya program tersebut terus publikasikan di seluruh dunia.
Final disposal site adalah lokasi terakhir perjalanan sampah dari manapun asalnya, rumah tangga, pabrik, rumah sakit, agroindustri, dll. Jika kemudian para pemungut ulung khusus untuk benda-benda plastic misalnya,
melakukan recycle (daur ulang) untuk di gunakan kembali pada produk kemasan makanan atau minuman. Lalu bagaiman adakh control atas prose daur ulang tersebut? dan sudahkah memenuhi standar baku mutu yang
ada?. Itulah kondisi dan situasi saat ini yang hidup dimasyarakat 'modern'. Merek sedang menggaali kuburannnya sendiri! (MAA-Komunitasgreenchemistry, 2009)
www.bpkp.go.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17
TAHUN 2004
TENTANG PENGESAHAN
KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE
(PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
TENTANG PERUBAHAN IKLIM)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
Mengingat :
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENT/ON ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PERUBAHAN IKLIM).
Pasal 1
Mengesahkan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 28 Juli 2004
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juli 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 72
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN
KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION
ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
TENTANG PERUBAHAN IKLIM)
I. UMUM
Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih-guna-lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) yang kontribusi terbesar berasal dari negara industri Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim.
Negara industri telah lama menghasilkan emisi GRK yang terakumulasi di atmosfer dalam
jumlah yang besar. Oleh karena itu, sangat beralasan jika mereka berkewajiban menurunkan emisi GRK dan mengatasi dampak perubahan iklim. Sementara itu, negara berkembang yang tidak berkewajiban menurunkan emisi GRK berhak mendapatkan bantuan dari negara industri dalam rangka berpartisipasi secara sukarela untuk menurunkan emisi GRK dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai tata cara, target, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penaatan dan penyelesaian sengketa.
Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.
Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, Indonesia perlu mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy). Di samping itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk menyerap GRK. Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan dialihkan ke negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) yang diatur oleh Protokol Kyoto.
Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) merupakan bentuk investasi baru di negara berkembang yang bertujuan mendorong negara industri untuk melaksanakan kegiatan penurunan emisi di negara berkembang guna mencapai target penurunan emisi GRK dan membantu negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dan mengingat Indonesia telah mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (Konvensi Perubahan
Iklim) melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994, sangatlah penting bagi Indonesia untuk mengesahkan Protokol Kyoto. Dengan mengesahkan Protokol tersebut, Indonesia mengadopsi hukum internasional sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan.
1. Latar Belakang dan Tujuan Protokol Kyoto
Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994, Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994.
Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan oleh Para Pihak, dipandang penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk negara pada Annex I (negara industri atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK sebagai unsur utama periyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Parties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama.
Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5 % di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism).
2. Manfaat Pengesahan Protokol Kyoto
Dengan mengesahkan Protokol Kyoto, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat:
3. Materi Pokok Protokol Kyoto
Protokol Kyoto disusun berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan, sebagaimana tercantum dalam prinsip ketujuh Deklarasi Rio, yang berarti bahwa semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi, tetapi dengan kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuan negara masing-masing. Protokol Kyoto terdiri atas 28 Pasal dan 2 Annex:
Annex A : Gas Rumah Kaca dan kategori sektor/sumber.
Annex B : Kewajiban penurunan emisi yang ditentukan untuk Para Pihak.
Materi pokok yang terkandung dalam Protokol Kyoto, antara lain hal-hal berikut.
a. Definisi
Protokol Kyoto mendefinisikan beberapa kelembagaan Konvensi dan Protokol, diantaranya Conference of the Parties (COP) dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) beserta fungsinya dalam pelaksanaan Konvensi dan Protokol. Ditetapkan juga bahwa Para Pihak pada Annex I Konvensi (negara industri, termasuk Rusia dan negara Eropa Timur lain yang ekonominya berada dalam transisi menuju pasar bebas) wajib menurunkan emisi sesuai dengan Annex B.
b. Kebijakan dan Tata Cara
Pasal 2 Protokol Kyoto mengatur kebijakan dan tata cara dalam mencapai komitmen pembatasan dan penurunan emisi oleh negara pada Annex I serta kewajiban untuk mencapai batas waktu komitmen tersebut. Di samping itu, Protokol juga mewajibkan negara industri untuk melaksanakan kebijakan dan mengambil tindakan untuk meminimalkan dampak yang merugikan dari perubahan iklim terhadap pihak lain, khususnya negara berkembang.
c. Target Penurunan Emisi
Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 Protokol Kyoto adalah ketentuan pokok dalam Protokol Kyoto. Emisi GRK menurut Annex A Protokol Kyoto meliputi : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurhexafluoride (SF6) .Target penurunan emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara pada Annex I. Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.
d. Implementasi Bersama
Implementasi Bersama adalah mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Pasal 6 Protokol Kyoto. Implementasi Bersama itu mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang paling menguntungkan. Kegiatan Implementasi Bersama tersebut akan menghasilkan unit penurunan emisi atau Emission Reduction Units (ERU).
e. Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan
Kewajiban bersama antara negara industri yang termasuk pada Annex I dengan negara berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 10 dan 11 Protokol Kyoto. Pasal 10 merupakan penekanan kembali kewajiban tersebut tanpa komitmen baru bagi Para Pihak, baik negara industri maupun negara berkembang seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Konvensi Perubahan Iklim. Pasal 11 menekankan kewajiban negara industri yang menjadi Pihak dalam Protokol Kyoto serta terrnasuk pada Annex II Konvensi untuk menyediakan dana baru dan dana tambahan, termasuk alih teknologi untuk melaksanakan komitmen Pasal 10 Protokol Kyoto.
f. Mekanisme Pembangunan Bersih
Mekanisme Pembangunan Bersih yang diuraikan dalam Pasal 12 Protokol Kyoto merupakan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Negara industri melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan utama Konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan penurunan emisi melalui MPB harus disertifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk oleh Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties (COP/MOP).
g. Kelembagaan
Lembaga-lembaga yang berfungsi melaksanakan Protokol Kyoto adalah .COP/MOP sebagai lembaga tertinggi pengambil keputusan Protokol (Pasal 13); Sekretariat Protokol juga berfungsi sebagai Sekretariat Konvensi melakukan tugas-tugas administrasi Protokol (Pasal 14); dan Subsidiary Body
for Scientific and Technological Advice (SBSTA), sebagai Badan Pendukung yang memberi masukan ilmiah kepada COP/MOP untuk membuat keputusan (Pasal 15).
h. Perdagangan Emisi
Perdagangan Emisi sebagaimana diatur dalam pasal 17 merupakan mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.
i. Prosedur Penaatan dan Penyelesaian Sengketa
Ketidaktaatan (non compliance) atas kewajiban yang ditentukan dalam Protokol diselesaikan sesuai dengan prosedur dan mekanisme penaatan yang ada dalam ketentuan Pasal 18 Protokol Kyoto. Sesuai dengan Pasal 19 Protokol .Kyoto, apabila terjadi perselisihan di antara Para Pihak, proses penyelesaian sengketa (dispute settlement) mengacu Pasal 14 Konvensi.
4. Peraturan Perundang-undangan Nasional yang Berkaitan dengan Protokol Kyoto.
Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan mendukung proses
pelaksanaan Protokol Kyoto. Peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain sebagai berikut:
5. Tindak Lanjut Pengesahan Protokol Kyoto
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut mempunyai kaitan dengan ketentuan dalam Protokol Kyoto. Namun, pengesahan Protokol Kyoto masih
memerlukan pengembangan peraturan dan kelembagaan untuk melaksanakan dan memanfaatkan peluang yang ada dalam Protokol. Agar peluang yang ada dalam Konvensi dan Protokol dapat dimanfaatkan secara optimal, upaya sosialisasi perlu dilakukan secara efektif dan terintegrasi melalui koordinasi antarsektor yang diatur oleh perangkat peraturan dan kelembagaan yang jelas sehingga dampak negatif perubahan iklim terhadap lingkungan dan kehidupan manusia dapat diminimalkan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka dipergunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris .
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4403
KUALITAS MANUSIA DAN KUALITAS LINGKUNGAN
Menurut Soerjani (2008) Mahluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Tetapi semenjak dahulu kala kecuali manusia, mahluk hidup yan lain itu menjadi penyebab timbulnya perubahan secara alami, yang bercirikan keajegan, keseimbangan, dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kuasai khususnya, serta perkembangan budaya pada umumnya.
Dalam ilmu lingkungan tidak sekedar timbal balik dan sebab akibat yang kita persoalkan, tetapi juga apakah manfaat dan risiko dari perbuatan atau kegiatan kita itu, kecauli menimbulkan manfaat langusng pada diri kita sendiri, bagi orang lain dan mahluk hidup sekitarnya, maka tindakan itu dapat dikatakan benar dan sebaliknya. Sehingga dalam ilmu studi lingkunagn ada masalah benar atau salah. Dengan kata lian ilmu lingkungan adalah ekologi ditambah dengan peritmbangan modal benar atau salah. Oleh karena itu, ilmu lingkungan harus memasukkan moral alam kedalam moral manusia. Yang pada hakikatnya pokok pengelolaan llingkungan hidup oleh manusia itu adalah bagaimana manusia melakukan upaya agar kualitas manusia makin meningkat, sementara kualitas ligkungan juga semakin baik. Hal ini merupakan landasan ilmiah mengapa masalah lingkungan hidup di Indonesai di kaitkan dengan masalah kependudukan. Sehinga dapat pula diartikan bahwa masalah lingkungan yang paling menonjol dan perlu memperolah prioritas pengelolaan adalah masalah kependudukan (Soerjani, 2008).
HOLISME DAN HUKUM MINIMUM
Holisme itu sendiri dapat di maknai yaitu pandangan yang utuh terhadap lingkungan hidup. Tentunya semua komponen yang mengisi lingkungan itu akan saling berinteraksi satu sama lai, ada interaksi yang penting, sedang dan kurang
Hukum minimum mengatakan bahwa nilai, hasil, atau kualitas suatu sistem ditentukan oleh faktor pendukungnya yag berada dalam keadan minimum. Pendekatan dan pengelolaan kualitas lingkungan secara progresif ini berdasarkan gagasan Vayda (1982) tentang kontekstualisasi progresif yang melihat sesuatu permasalah menurut konteks pokoknya dan dikembangkan menurut keperluannya dengan melihat konteks persoalan berikutnya. Jadi dalam melakukan pengelolaan lingkungan uratan prioritas pada masalah yang pokok karena faktor ini merupakan peluang terbesar dan terpenting memperbaiki keadaan.
Etika lingkungan adalah berbagai prinsip moral lingkungan. Jadia etika lingkungan merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan kita tidak saja mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan juga membatasi tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap dalam batas kelentingan lingkungan hidup kita.
Permasalah pengeleloaan SDA
Sumber daya alam adalah suatu sumber daya yang terbentuk karena kekutan alamiah, tanah, air, dan perairan biotis, udara dan ruang, mineral, bentang alam, panas bumi angin pasang surut dan seterusnya. Berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, pemanfaatan sumber daya alam kemudian di kelola sedemikian rupa berdasarkan potensinya misalnya, sumber alam penghasil energi: air, pasang surut, gas bumi, minyak bumi, batubara, angin matahari dan seterusnya. Kemudian akan dengan sendirinya muncul permasalahan berikutnya berkaitan dengan pemanfataan SDA, dalam kaitannya dengan mendukung kehidupan di muka bumi ini. Permasalahan itu dapat di sarikan menjadi beberapa aspek antara lain (Soerjani, 2008):
Dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk dan pola penyebarany yang kurang/tidak seimbang dengan penyebartan SDA serta daya dukung lingkungan. Selain pengaturan pemanfaatan SDA yang belum memadai.
Kegiatan membuka hutan untuk perladangan (huma) yang selalu berpindah-pindah guna mencari lahan yang subur misalnya, dapat menyebabkan kerusakan hutan. Sementara kegitan itu hanya menghasilkan produktivitas pangan yang sedikit dibangdingkan tenaga yang dibutuhkan. Untuk alasan itu di Indonesia sendiri menerapkan program transmigarasi yang tujuannya menciptakan permukiman-permukiman yang menetap, tidak lagi berpindah-pindah
Di lingkungan permukiman dan industri masalah utama yang masih tetap belum terpecahkan adalah masalah limbah kota dan limbah industri. Umumnya limbah masih di buang di sungai, laut atau di pendam di tanah. Selain itu, meningkatnya penggunaan kendaran bermotor di perkoataan menimbulkan pencemaran udara yang terus naik.
Kesadaran masyarakat mengenai masalah lingkungan mulai tumbuh, namun belum cukup kuat mengahasilkan wujud nyata dalam mempengaruihi perilaku dan motivasi yang mengahasilkan tindakan nyata dalam usaha swadaya perbaikan lingkungan hidup. Lihat suku mentawai dan baduy, melalui hubungan kuat budayanya, memberikan tempat tinggi kepada pelestarian air dan hutan lindung dan satwa langka. Walaupun semua agama mewajibkan pemeluknya untuk memlihara ciptaan Tuhan, yang menjadi masalah disini adalah kurangnya pemahaman tentang tata nilainya
Pemanfaatan terumbu karang dan pasir pantai untuk bahan bangunan telah meningkat. Selain itu penggunaan bahan peledak dan racun untuk kegiatan perikananan telah banyak menimbulkan kerusakan. Selain itu bukti ilmiah di beberapa daerah tetrtentu, kawasan industri, misalnya di temukan pencemaran logam berat, pencemaran panas dll.
Usaha penanganan kawasan hutan produksi selalu mengalami berbagai masalah, terutama karena belum jelasnya tata guna hutan, masih adanya perladangan berpindah, serta perlu adanya perluasan transmigrasi dan usaha perkebunan dan pertambangan
Meningkatnya daerah hunian baru, beberapa jenis konstruksi dan prasana penunjang lainnya dan keperluan bahan bangunan, batu, tanah, air dan pasir dapat menimbulkan kerusakan lingkungan bila kegiatan penambangan bahan –bahan bangunan tersebut tidak terkelola dengan baik. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman yang semakin meningkat
Usaha menumbuhkann kemampuan dalam menangani masalah lingkungan hidup di daerah-daerah di mulai dengan di bentuknya pusat-pusat studi lingkungan hidup, biro kependudukan dan lingkungan hidup. Pusat studi lingkungan hidup adalah pusat pengkajian SDA dan Lingkungan hidup yang diharapakan dapat memberikan masukan teknologi yang memadai dalam rangka mengelola lingkungan hidup. Pengaturan pembangunan berwawasan lingkungan memang belum berkembang seperti yang di harapakan. Misalnya di daerah melalui BAPPEDA, diharapkan dapat merencanakan pembangunan yang memperhatikan lingkungan.
Dengan demikian pemanfatan SDA perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikuit:
Dari uraian singkat diatas dapat diambil suatu kesimpulan sedikit bahwa kenyataannya bukanlah suatu konsep lama yang banyak di tulis atau di bicarakan untuk bagaiaman meningkatkan kualitas hidup manusia. Hal ini di maksudkan perlu sinergi antara para pembuat kebijakan (pemerintah) masyarakat itu sendiri dan akitivis lingkungan (bisa berasal dari kalangan akdemisi) untuk terus mewujudkan lingkungan hidup yang baik tanpa meniadakan kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak. Lihat di Indonesia Standar of living and Quality of life (sol dan qol), tentunya memiliki angka banding yang berbeda dari berbagai negara dan zaman. Hal ini dapat saja terjadi bila lingkungan budayanya memliki perbedaan. Maksudnya tidak akan cukup simetris kehidupan masyarakat di suatu daerha tertentu dimasa tertentu bila dibandingkan dengan kehidupann saat ini. Yang seharusnya jelas akan terus meningkatkan standar kehidupan dan kualitas hidupnya seiring meningkatnya kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya. Tinggal bagaimana manajemen pengelolaan kebutuhan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungannya. Dengan kata lain meningkatnya Standar kehidupan saat ini tidak sejalan dengan meningkatnya qualitas kehidupan.
(MAA-Komunitas Green Chemistry, 2009)
MENGGUGAT KONSEP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
Pembangunan yang berkelanjutan atau Sustainable development bermula dari salah satu permasalahan yang dibahas pada konferensi Stockholm, UN Conference on the Human Environment pada tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan memperhatikan faktor lingkungan. Selanjutnya oleh komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (world commission on environment and development, WCED) (juga dikenal dengan komisi Brundtland) tahun 1987, mempertegasnya menjadi konsep sustainable development (Soerjani, 1997). Sebagai perwakilan dari Indonesia adalah Prof. Emil Salim, yang hasil konferensinya berhasil mengeluarkan laporan berjudul "Our Common Future", kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1988 dengan judul "Hari Depan Kita Bersama". Sehingga sustainable development dapat di interpretasikan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa berkompromi (baca: mengurangi) kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka
Menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) dalam bukunya "Pembangunan: Dilema dan tantangan", keberhasilan paradigma pertumbuhan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah membawa berbagai akibat yag negatif. Momentum pembangunan di capai dengan pengorbanan (at the expense of)
deteriorasi ekologis, penyusutan sumber alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan dependensi. Sejumlah pemikir dari Massachusets Institut of Technology dan Club of Rome, misalnya memperingatkan bahwa kalau laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk dunia tetap seperti ini, pada suatu ketika akan tercapai batas ambang (thresold) pertumbuhan, dan akan terjadi kehancuran planet bumi ini sebagai suatu sistem. Mereka berpendapat bahwa di dalam satu abad, batas ambang pertumbuhan akan tercapai. Pandangan neomalthusian persepective ini pada hakikatnya mengajukan teori tentang integrasi jangka panjang antara penduduk, sistem ekonomi dan SDA. Pokok-pokok pikirannya adalah sbb:
Pertama, pertumbuhan ekponensial merupakan sifat yang melekat pada kependudukan dan sistem kapital. Penduduk dan kapital materiil tumbuh secara ekponensial melalui proses reproduksi dan produksi.
Kedua, ada keterbatasan potensi planet bumi, yang dapat dismpulkan dari empat (4) asumsi dasar, yaitu: terbatasnya cadangan non-renewable resources yang dapat di ekploitasi; terbatasnya keamampuan lingkukangan untuk dapat menyerap polusi, terbatasnya lahan yang dapat di tanami; terbatasnya produksi persatuan lahan; dengan kata lain ada batas fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.
Ketiga, tertundanya dalam waktu yang lama umpan balik (feedback) yang mengontrol pertumbuhan fisik sistem dunia. Lembaga-lembaga sosial yang ada hanya memberikan respons terhadap situasi dimana mereka mempunyai informasi. Karena informasi yang mereka dapat tidak lengkap dan terlambat, maka umpan balik juga akan terlambat.
Keempat, ada dua alternatif yang dapat diberikan, yaitu: menghilangkan gejala adanya keterbatasan yang menghambat pertumbuhan atau memperlemah kekuatan yag mendorong pertumbuhan.
Kelima, pilihan hendaknya diberikan pada equilibrium state, yaitu situasi di mana kondisi kependudukan telah mencapai derajat kestabilan pada tingkat tertentu yang dikehendaki dan dimana kebutuhan materiil tercukupi dengan memanfatakan input yang tidak dapat di perbaharui dan yang menimbulkan polusi secara minimal.
Dari krtik cendikiawan MIT dan Club of Rome terhadap laju pertumbuhan yang terjadi. Demi kelangsungan planet bumi yang pada hakikatnya telah menemukan landasan bagi pemikiran yang berkembang kemudian dari persepektif ekologi yang kemudian di kenal dengan pemikiran tentang sustained development.
Namun kritik juga datang dari pendukung paradigma pembangunan lain, yang melihat bahwa paradigma pertumbuhan cenderung menciptakan efek negatif tertentu yang akibatnya menurunkan derajat keberlanjutan pembangunan.
Dorongan mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tinginya, seringkali mengakibatkan terabaikanya upaya pembinaan kelembagaan dan pembinaan kapasitas. Pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui centrally impose blue print plan (Korten, 1986) yang di rumuskan oleh teknokrat dan alokasi sumber pembangunan yang sentralistis cenderung meng-criple-kan potensi masyarakat. Model pembanguna yang demikian pada hakikatnya merupakan gaya pembangunan delivered development. Kecenderungan menerapkan gaya pembangunan ini cenderung menumbuhkan hubungan dependensi antara rakyat dan proyek pembangunan atau antara rakyat dengan birokrat. Karenanya, sifatnya menjadi disempowering, menekan kemampuan masyarakat untuk mengaktualisasikan potensinya.
Banyaknya mortality rate proyek-proyek pembangunan merefleksikan lemahnya sustainability proyek tersebut (Tjokroaminoto, 1996) yang di cirikan sebagai berikut: prakarsa biasanya di mulai dari pusat dalam bentuk rencana formal; proses penyusunan program bersifat statsis dan didominasi oleh pendapat pakar atau teknokrat; teklnologi yang di gunakan bersifat scientific dan berasal dari luar; mekanisme kelembagaanya bersifat top down; pertumbuhannya cepat, tetapi bersifat mekanistik; organisatornya para pakar specialis; evaluasinya bersifat eksternal dan berorientasi pada impact; dan fokus perhatiannnya adalah bagaimana dapat menyelesaikan proyek tepat pada waktunya. Kelemahannya terletak pada ketidakmampuannya mencapai kondisi self-generation of input sehingga membahayakan keberlanjutan proyek pembangunan tersebut.
Sehinga interpretasi lain sustainable development di dorong oleh adanya kenyataan tingginya mortality of Rate proyek–proyek pembangunan di negara-negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan itu berkembang dengan kekuatan sendiri. Dalam konteks ini, sustaianble development dapat di artikan sebagai
"The ability of a development project to generate sufficiently a net surplus as input for further development"
Oleh karena itu, menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) Kedua interpretasi diatas menunjukan kualitas untuk tumbuh dengan kekuatan senfdiri. Keduanya menyangkut hubungan yang optimal antara input dan output. Perbedaanya nampak terletak pada level of analysis-nya. Interpretasi pertama pada derajat makro dan interpretasi kedua pada derajat mikro. (MAA, 2009)
“Green Chemistry is the design of
chemical products and processes that
reduce or eliminate the use and
generation of hazardous compounds.”
Paul Anastas & John Warner
Sejak zaman dahulu, para pe-Riset terus berusaha mencari material baru yang lebih sederhana dan murah. Berbagai penelitian dilakukan mulai dari skala kecil hingga skala besar. Pencarian bahan dilakukan mengikuti kemana arah survey geologi mengarahakan, bahkan hingga keluar batas benua (overseas). Seakan tak ada hentinya manusia terus berusaha menyederhanakan lifestyle-nya dengan barang-barang hasil temuannya. Dengan begitu road map teknologi sudah tidak lagi bisa diikuti secara seksama. Karena begitu prduktifnya publikasi riset-riset berskala internasional, yang dengan cepat dikembangkan menjadi produk baru yang jenis dan jumlahnya begitu besar. Teknologi mengupayakan kecepatan dan kesederhanaan dalam hal pemenuhan kebutuhan manusia, yang dengan itu orang tidak lagi merasakan kesulitan. Apa pun yang diinginkannya telah beredar bebas di pasaran. Hingga terkadang suatu produk tidak mudah dipahami langsung kegunaannya. Maka dari itu banyak pula anggapan miring mengenai peredaran produk (baca: barang-barang) yang seakan masyarakat dengan begitu terpaksa untuk membelinya tanpa menyadari apa fungsinya, dan sejauh mana nilai kebutuhannya.
Dibalik keunggulan teknolgi itu, sebenarnya terdapat ancaman besar bagi manusianya sendiri, bahkan alam tempat tinggalnya. karena tuntutan pertumbuhan ekonomi harus terus naik, bagaimanapun caranya. Pembangunan terus diupayakan guna menyeimbangkan produktifitas dengan kebutuhan konsumen. Pabrik-pabrik terus beroperasi tanpa henti sepanjang tahun melemparkan produk-produk unggulannya kepada konsumen, yang bersamaan itu menerbangkan polusinya ke udara dan mengaliri tanah dengan cairan sisa limbah produksi. Tidak hanya itu saja pola hidup konsumtif juga menjadi penyumbang produksi limbah yang tidak kalah besarnya. Kalau keadaan itu tidak segera di tangani, akan berakibat fatal bagi daya dukung lingkungan.
Media elektronik maupun non elektronik seharusnya menjadi yang terdepan menceritakan bagaimana daya dukung lingkungan tidak cukup kuat di bebani begitu banyaknya bahan-bahan asing di lingkungannya. Memang benar alam memilki cara tersendiri untuk meneteralisir/menyeimbangkan zat-zat asing (xenobiotic) yang masuk di lingkungannya. Namun tetap memiliki batas maksimum kapan lingkungan dikatakan telah tercemar. Hanya menunggu hitungan waktu. Tidak juga manusia sebagai ‘pengelola’ bumi yang diberi kebebasan seluasnya-luasnya untuk memanfaatkan sumberdaya apa saja yang terkandung didalamnya. Namun begitu, harus tetap memikirkan kehidupan dimasa mendatang. (alimakbar)
Sustainability
"Meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their needs."
The U.N. Brundtland Commission (1987)