Minggu, 17 Mei 2009

RATIFIKASI PROTOKOL KYOTO

www.bpkp.go.id

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 17
TAHUN 2004

TENTANG PENGESAHAN

KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE

(PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

TENTANG PERUBAHAN IKLIM)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


 

Menimbang :

  1. Bahwa tujuan nasional negara Republik Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
  2. Bahwa Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 telah mengesahkan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) yang mengamanatkan penetapan suatu protokol;
  3. Bahwa perubahan iklim bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menimbulkan pengaruh merugikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities) dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tiap-tiap negara;
  4. Bahwa sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut;
  5. Bahwa sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia perlu mengembangkan industri dengan teknologi bersih khususnya yang rendah emisi;
  6. Bahwa sebagai negara tropis yang memiliki hutan terluas kedua di dunia, Indonesia memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi;
  7. Bahwa Protokol Kyoto mengatur emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia agar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil dan tidak membahayakan sistem iklim bumi;
  8. Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, d, e, f, dan g dipandang perlu mengesahkan Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dengan undang-undang;


     

    Mengingat :

  9. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasa1 20 ayat (1), (2), (4), (5), Pasal 22A, dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557);
  11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
  12. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);


     


     

    Dengan persetujuan bersama antara

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    dan

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


     

    MEMUTUSKAN:


     

    Menetapkan :

    UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENT/ON ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PERUBAHAN IKLIM).


     

    Pasal 1

    Mengesahkan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.

    Pasal 2

    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


     

    Telah sah

    pada tanggal 28 Juli 2004

    Diundangkan di Jakarta

    pada tanggal 28 Juli 2004


     

    SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

    ttd.

    BAMBANG KESOWO


     


     

    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 72


     


     

    PENJELASAN ATAS

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN

    KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION

    ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA

    PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

    TENTANG PERUBAHAN IKLIM)


    I. UMUM

        Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih-guna-lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) yang kontribusi terbesar berasal dari negara industri Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim.

        Negara industri telah lama menghasilkan emisi GRK yang terakumulasi di atmosfer dalam

    jumlah yang besar. Oleh karena itu, sangat beralasan jika mereka berkewajiban menurunkan emisi GRK dan mengatasi dampak perubahan iklim. Sementara itu, negara berkembang yang tidak berkewajiban menurunkan emisi GRK berhak mendapatkan bantuan dari negara industri dalam rangka berpartisipasi secara sukarela untuk menurunkan emisi GRK dan mengatasi dampak perubahan iklim.

    Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai tata cara, target, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penaatan dan penyelesaian sengketa.

        Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.

        Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, Indonesia perlu mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy). Di samping itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk menyerap GRK. Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan dialihkan ke negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) yang diatur oleh Protokol Kyoto.

        Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) merupakan bentuk investasi baru di negara berkembang yang bertujuan mendorong negara industri untuk melaksanakan kegiatan penurunan emisi di negara berkembang guna mencapai target penurunan emisi GRK dan membantu negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

    Sehubungan dengan hal tersebut, dan mengingat Indonesia telah mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (Konvensi Perubahan

    Iklim) melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994, sangatlah penting bagi Indonesia untuk mengesahkan Protokol Kyoto. Dengan mengesahkan Protokol tersebut, Indonesia mengadopsi hukum internasional sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan.


     

    1. Latar Belakang dan Tujuan Protokol Kyoto

        Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994, Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994.

        Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan oleh Para Pihak, dipandang penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk negara pada Annex I (negara industri atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK sebagai unsur utama periyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Parties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama.

        Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5 % di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism).


     

    2. Manfaat Pengesahan Protokol Kyoto

    Dengan mengesahkan Protokol Kyoto, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat:

  13. Mempertegas komitmen pada Konvensi Perubahan Iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities principle) ;
  14. Melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer sehingga tidak membahayakan iklim bumi;
  15. Membuka peluang investasi baru dari negara industri ke Indonesia melalui MPB;
  16. Mendorong kerja sama dengan negara industri melalui MPB guna memperbaiki dan memperkuat kapasitas, hukum, kelembagaan, dan alih teknologi penurunan emisi GRK;
  17. Mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan;
  18. Meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK.


     

    3. Materi Pokok Protokol Kyoto

    Protokol Kyoto disusun berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan, sebagaimana tercantum dalam prinsip ketujuh Deklarasi Rio, yang berarti bahwa semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi, tetapi dengan kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuan negara masing-masing. Protokol Kyoto terdiri atas 28 Pasal dan 2 Annex:

    Annex A : Gas Rumah Kaca dan kategori sektor/sumber.

    Annex B : Kewajiban penurunan emisi yang ditentukan untuk Para Pihak.

    Materi pokok yang terkandung dalam Protokol Kyoto, antara lain hal-hal berikut.

    a. Definisi

    Protokol Kyoto mendefinisikan beberapa kelembagaan Konvensi dan Protokol, diantaranya Conference of the Parties (COP) dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) beserta fungsinya dalam pelaksanaan Konvensi dan Protokol. Ditetapkan juga bahwa Para Pihak pada Annex I Konvensi (negara industri, termasuk Rusia dan negara Eropa Timur lain yang ekonominya berada dalam transisi menuju pasar bebas) wajib menurunkan emisi sesuai dengan Annex B.

    b. Kebijakan dan Tata Cara

    Pasal 2 Protokol Kyoto mengatur kebijakan dan tata cara dalam mencapai komitmen pembatasan dan penurunan emisi oleh negara pada Annex I serta kewajiban untuk mencapai batas waktu komitmen tersebut. Di samping itu, Protokol juga mewajibkan negara industri untuk melaksanakan kebijakan dan mengambil tindakan untuk meminimalkan dampak yang merugikan dari perubahan iklim terhadap pihak lain, khususnya negara berkembang.

    c. Target Penurunan Emisi

    Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 Protokol Kyoto adalah ketentuan pokok dalam Protokol Kyoto. Emisi GRK menurut Annex A Protokol Kyoto meliputi : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurhexafluoride (SF6) .Target penurunan emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara pada Annex I. Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.

    d. Implementasi Bersama

    Implementasi Bersama adalah mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Pasal 6 Protokol Kyoto. Implementasi Bersama itu mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang paling menguntungkan. Kegiatan Implementasi Bersama tersebut akan menghasilkan unit penurunan emisi atau Emission Reduction Units (ERU).

    e. Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan

    Kewajiban bersama antara negara industri yang termasuk pada Annex I dengan negara berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 10 dan 11 Protokol Kyoto. Pasal 10 merupakan penekanan kembali kewajiban tersebut tanpa komitmen baru bagi Para Pihak, baik negara industri maupun negara berkembang seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Konvensi Perubahan Iklim. Pasal 11 menekankan kewajiban negara industri yang menjadi Pihak dalam Protokol Kyoto serta terrnasuk pada Annex II Konvensi untuk menyediakan dana baru dan dana tambahan, termasuk alih teknologi untuk melaksanakan komitmen Pasal 10 Protokol Kyoto.

    f. Mekanisme Pembangunan Bersih

    Mekanisme Pembangunan Bersih yang diuraikan dalam Pasal 12 Protokol Kyoto merupakan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Negara industri melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan utama Konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan penurunan emisi melalui MPB harus disertifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk oleh Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties (COP/MOP).

    g. Kelembagaan

    Lembaga-lembaga yang berfungsi melaksanakan Protokol Kyoto adalah .COP/MOP sebagai lembaga tertinggi pengambil keputusan Protokol (Pasal 13); Sekretariat Protokol juga berfungsi sebagai Sekretariat Konvensi melakukan tugas-tugas administrasi Protokol (Pasal 14); dan Subsidiary Body
    for Scientific and Technological Advice (SBSTA), sebagai Badan Pendukung yang memberi masukan ilmiah kepada COP/MOP untuk membuat keputusan (Pasal 15).

    h. Perdagangan Emisi

    Perdagangan Emisi sebagaimana diatur dalam pasal 17 merupakan mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.

    i. Prosedur Penaatan dan Penyelesaian Sengketa

    Ketidaktaatan (non compliance) atas kewajiban yang ditentukan dalam Protokol diselesaikan sesuai dengan prosedur dan mekanisme penaatan yang ada dalam ketentuan Pasal 18 Protokol Kyoto. Sesuai dengan Pasal 19 Protokol .Kyoto, apabila terjadi perselisihan di antara Para Pihak, proses penyelesaian sengketa (dispute settlement) mengacu Pasal 14 Konvensi.

    4. Peraturan Perundang-undangan Nasional yang Berkaitan dengan Protokol Kyoto.

    Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan mendukung proses

    pelaksanaan Protokol Kyoto. Peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain sebagai berikut:

  19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
  20. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
  21. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);]
  22. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations. Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negard Nomor 3557);
  23. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
  24. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888).


    5. Tindak Lanjut Pengesahan Protokol Kyoto

    Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut mempunyai kaitan dengan ketentuan dalam Protokol Kyoto. Namun, pengesahan Protokol Kyoto masih

    memerlukan pengembangan peraturan dan kelembagaan untuk melaksanakan dan memanfaatkan peluang yang ada dalam Protokol. Agar peluang yang ada dalam Konvensi dan Protokol dapat dimanfaatkan secara optimal, upaya sosialisasi perlu dilakukan secara efektif dan terintegrasi melalui koordinasi antarsektor yang diatur oleh perangkat peraturan dan kelembagaan yang jelas sehingga dampak negatif perubahan iklim terhadap lingkungan dan kehidupan manusia dapat diminimalkan.

    II. PASAL DEMI PASAL

    Pasal 1

    Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka dipergunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris .

    Pasal 2

    Cukup jelas.

    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4403


     


     

Sabtu, 16 Mei 2009

PSDAL

KUALITAS MANUSIA DAN KUALITAS LINGKUNGAN

Menurut Soerjani (2008) Mahluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Tetapi semenjak dahulu kala kecuali manusia, mahluk hidup yan lain itu menjadi penyebab timbulnya perubahan secara alami, yang bercirikan keajegan, keseimbangan, dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kuasai khususnya, serta perkembangan budaya pada umumnya.

Dalam ilmu lingkungan tidak sekedar timbal balik dan sebab akibat yang kita persoalkan, tetapi juga apakah manfaat dan risiko dari perbuatan atau kegiatan kita itu, kecauli menimbulkan manfaat langusng pada diri kita sendiri, bagi orang lain dan mahluk hidup sekitarnya, maka tindakan itu dapat dikatakan benar dan sebaliknya. Sehingga dalam ilmu studi lingkunagn ada masalah benar atau salah. Dengan kata lian ilmu lingkungan adalah ekologi ditambah dengan peritmbangan modal benar atau salah. Oleh karena itu, ilmu lingkungan harus memasukkan moral alam kedalam moral manusia. Yang pada hakikatnya pokok pengelolaan llingkungan hidup oleh manusia itu adalah bagaimana manusia melakukan upaya agar kualitas manusia makin meningkat, sementara kualitas ligkungan juga semakin baik. Hal ini merupakan landasan ilmiah mengapa masalah lingkungan hidup di Indonesai di kaitkan dengan masalah kependudukan. Sehinga dapat pula diartikan bahwa masalah lingkungan yang paling menonjol dan perlu memperolah prioritas pengelolaan adalah masalah kependudukan (Soerjani, 2008).

HOLISME DAN HUKUM MINIMUM

Holisme itu sendiri dapat di maknai yaitu pandangan yang utuh terhadap lingkungan hidup. Tentunya semua komponen yang mengisi lingkungan itu akan saling berinteraksi satu sama lai, ada interaksi yang penting, sedang dan kurang

Hukum minimum mengatakan bahwa nilai, hasil, atau kualitas suatu sistem ditentukan oleh faktor pendukungnya yag berada dalam keadan minimum. Pendekatan dan pengelolaan kualitas lingkungan secara progresif ini berdasarkan gagasan Vayda (1982) tentang kontekstualisasi progresif yang melihat sesuatu permasalah menurut konteks pokoknya dan dikembangkan menurut keperluannya dengan melihat konteks persoalan berikutnya. Jadi dalam melakukan pengelolaan lingkungan uratan prioritas pada masalah yang pokok karena faktor ini merupakan peluang terbesar dan terpenting memperbaiki keadaan.

Etika lingkungan adalah berbagai prinsip moral lingkungan. Jadia etika lingkungan merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan kita tidak saja mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan juga membatasi tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap dalam batas kelentingan lingkungan hidup kita.

Permasalah pengeleloaan SDA

Sumber daya alam adalah suatu sumber daya yang terbentuk karena kekutan alamiah, tanah, air, dan perairan biotis, udara dan ruang, mineral, bentang alam, panas bumi angin pasang surut dan seterusnya. Berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, pemanfaatan sumber daya alam kemudian di kelola sedemikian rupa berdasarkan potensinya misalnya, sumber alam penghasil energi: air, pasang surut, gas bumi, minyak bumi, batubara, angin matahari dan seterusnya. Kemudian akan dengan sendirinya muncul permasalahan berikutnya berkaitan dengan pemanfataan SDA, dalam kaitannya dengan mendukung kehidupan di muka bumi ini. Permasalahan itu dapat di sarikan menjadi beberapa aspek antara lain (Soerjani, 2008):

  1. Kependudukan dan lingkungan hidup

    Dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk dan pola penyebarany yang kurang/tidak seimbang dengan penyebartan SDA serta daya dukung lingkungan. Selain pengaturan pemanfaatan SDA yang belum memadai.

  2. Produktivitas lahan

    Kegiatan membuka hutan untuk perladangan (huma) yang selalu berpindah-pindah guna mencari lahan yang subur misalnya, dapat menyebabkan kerusakan hutan. Sementara kegitan itu hanya menghasilkan produktivitas pangan yang sedikit dibangdingkan tenaga yang dibutuhkan. Untuk alasan itu di Indonesia sendiri menerapkan program transmigarasi yang tujuannya menciptakan permukiman-permukiman yang menetap, tidak lagi berpindah-pindah

  3. Pencemaran lingkungan

    Di lingkungan permukiman dan industri masalah utama yang masih tetap belum terpecahkan adalah masalah limbah kota dan limbah industri. Umumnya limbah masih di buang di sungai, laut atau di pendam di tanah. Selain itu, meningkatnya penggunaan kendaran bermotor di perkoataan menimbulkan pencemaran udara yang terus naik.

  4. Peran serta masyarakat

    Kesadaran masyarakat mengenai masalah lingkungan mulai tumbuh, namun belum cukup kuat mengahasilkan wujud nyata dalam mempengaruihi perilaku dan motivasi yang mengahasilkan tindakan nyata dalam usaha swadaya perbaikan lingkungan hidup. Lihat suku mentawai dan baduy, melalui hubungan kuat budayanya, memberikan tempat tinggi kepada pelestarian air dan hutan lindung dan satwa langka. Walaupun semua agama mewajibkan pemeluknya untuk memlihara ciptaan Tuhan, yang menjadi masalah disini adalah kurangnya pemahaman tentang tata nilainya

  5. Lingkungan perairan laut

    Pemanfaatan terumbu karang dan pasir pantai untuk bahan bangunan telah meningkat. Selain itu penggunaan bahan peledak dan racun untuk kegiatan perikananan telah banyak menimbulkan kerusakan. Selain itu bukti ilmiah di beberapa daerah tetrtentu, kawasan industri, misalnya di temukan pencemaran logam berat, pencemaran panas dll.

  6. Tata guna sumber alam dan lingkungan

    Usaha penanganan kawasan hutan produksi selalu mengalami berbagai masalah, terutama karena belum jelasnya tata guna hutan, masih adanya perladangan berpindah, serta perlu adanya perluasan transmigrasi dan usaha perkebunan dan pertambangan

  7. Pelestarian alam

    Meningkatnya daerah hunian baru, beberapa jenis konstruksi dan prasana penunjang lainnya dan keperluan bahan bangunan, batu, tanah, air dan pasir dapat menimbulkan kerusakan lingkungan bila kegiatan penambangan bahan –bahan bangunan tersebut tidak terkelola dengan baik. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman yang semakin meningkat

  8. Pengelolaan lingkungan hidup.

    Usaha menumbuhkann kemampuan dalam menangani masalah lingkungan hidup di daerah-daerah di mulai dengan di bentuknya pusat-pusat studi lingkungan hidup, biro kependudukan dan lingkungan hidup. Pusat studi lingkungan hidup adalah pusat pengkajian SDA dan Lingkungan hidup yang diharapakan dapat memberikan masukan teknologi yang memadai dalam rangka mengelola lingkungan hidup. Pengaturan pembangunan berwawasan lingkungan memang belum berkembang seperti yang di harapakan. Misalnya di daerah melalui BAPPEDA, diharapkan dapat merencanakan pembangunan yang memperhatikan lingkungan.


     

    Dengan demikian pemanfatan SDA perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikuit:

    1. Daya guna dan hasil guna yang dikehendaki harus dilihat dalam batas-batas yang optimal sehubungan dengan kelestarian sumber daya alam yang mungkin di capai
    2. Tidak mengurangi kemampuan dan kelestarian alam lain yang berkaitan dalam suatu ekosistem
    3. Memberikan kemungkinan untuk mengadakan pilihan penggunaan dalam pembangunan di masa mendatang.

Dari uraian singkat diatas dapat diambil suatu kesimpulan sedikit bahwa kenyataannya bukanlah suatu konsep lama yang banyak di tulis atau di bicarakan untuk bagaiaman meningkatkan kualitas hidup manusia. Hal ini di maksudkan perlu sinergi antara para pembuat kebijakan (pemerintah) masyarakat itu sendiri dan akitivis lingkungan (bisa berasal dari kalangan akdemisi) untuk terus mewujudkan lingkungan hidup yang baik tanpa meniadakan kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak. Lihat di Indonesia Standar of living and Quality of life (sol dan qol), tentunya memiliki angka banding yang berbeda dari berbagai negara dan zaman. Hal ini dapat saja terjadi bila lingkungan budayanya memliki perbedaan. Maksudnya tidak akan cukup simetris kehidupan masyarakat di suatu daerha tertentu dimasa tertentu bila dibandingkan dengan kehidupann saat ini. Yang seharusnya jelas akan terus meningkatkan standar kehidupan dan kualitas hidupnya seiring meningkatnya kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya. Tinggal bagaimana manajemen pengelolaan kebutuhan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungannya. Dengan kata lain meningkatnya Standar kehidupan saat ini tidak sejalan dengan meningkatnya qualitas kehidupan.

(MAA-Komunitas Green Chemistry, 2009)


 

Selasa, 05 Mei 2009

MENGGUGAT KONSEP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN

MENGGUGAT KONSEP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN


 


 

Pembangunan yang berkelanjutan atau Sustainable development bermula dari salah satu permasalahan yang dibahas pada konferensi Stockholm, UN Conference on the Human Environment pada tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan memperhatikan faktor lingkungan. Selanjutnya oleh komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (world commission on environment and development, WCED) (juga dikenal dengan komisi Brundtland) tahun 1987, mempertegasnya menjadi konsep sustainable development (Soerjani, 1997). Sebagai perwakilan dari Indonesia adalah Prof. Emil Salim, yang hasil konferensinya berhasil mengeluarkan laporan berjudul "Our Common Future", kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1988 dengan judul "Hari Depan Kita Bersama". Sehingga sustainable development dapat di interpretasikan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa berkompromi (baca: mengurangi) kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka

Menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) dalam bukunya "Pembangunan: Dilema dan tantangan", keberhasilan paradigma pertumbuhan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah membawa berbagai akibat yag negatif. Momentum pembangunan di capai dengan pengorbanan (at the expense of)
deteriorasi ekologis, penyusutan sumber alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan dependensi. Sejumlah pemikir dari Massachusets Institut of Technology dan Club of Rome, misalnya memperingatkan bahwa kalau laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk dunia tetap seperti ini, pada suatu ketika akan tercapai batas ambang (thresold) pertumbuhan, dan akan terjadi kehancuran planet bumi ini sebagai suatu sistem. Mereka berpendapat bahwa di dalam satu abad, batas ambang pertumbuhan akan tercapai. Pandangan neomalthusian persepective ini pada hakikatnya mengajukan teori tentang integrasi jangka panjang antara penduduk, sistem ekonomi dan SDA. Pokok-pokok pikirannya adalah sbb:


 

Pertama, pertumbuhan ekponensial merupakan sifat yang melekat pada kependudukan dan sistem kapital. Penduduk dan kapital materiil tumbuh secara ekponensial melalui proses reproduksi dan produksi.


 

Kedua, ada keterbatasan potensi planet bumi, yang dapat dismpulkan dari empat (4) asumsi dasar, yaitu: terbatasnya cadangan non-renewable resources yang dapat di ekploitasi; terbatasnya keamampuan lingkukangan untuk dapat menyerap polusi, terbatasnya lahan yang dapat di tanami; terbatasnya produksi persatuan lahan; dengan kata lain ada batas fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.


 

Ketiga, tertundanya dalam waktu yang lama umpan balik (feedback) yang mengontrol pertumbuhan fisik sistem dunia. Lembaga-lembaga sosial yang ada hanya memberikan respons terhadap situasi dimana mereka mempunyai informasi. Karena informasi yang mereka dapat tidak lengkap dan terlambat, maka umpan balik juga akan terlambat.


 

Keempat, ada dua alternatif yang dapat diberikan, yaitu: menghilangkan gejala adanya keterbatasan yang menghambat pertumbuhan atau memperlemah kekuatan yag mendorong pertumbuhan.


 

Kelima, pilihan hendaknya diberikan pada equilibrium state, yaitu situasi di mana kondisi kependudukan telah mencapai derajat kestabilan pada tingkat tertentu yang dikehendaki dan dimana kebutuhan materiil tercukupi dengan memanfatakan input yang tidak dapat di perbaharui dan yang menimbulkan polusi secara minimal.


 

Dari krtik cendikiawan MIT dan Club of Rome terhadap laju pertumbuhan yang terjadi. Demi kelangsungan planet bumi yang pada hakikatnya telah menemukan landasan bagi pemikiran yang berkembang kemudian dari persepektif ekologi yang kemudian di kenal dengan pemikiran tentang sustained development.


 

Namun kritik juga datang dari pendukung paradigma pembangunan lain, yang melihat bahwa paradigma pertumbuhan cenderung menciptakan efek negatif tertentu yang akibatnya menurunkan derajat keberlanjutan pembangunan.


 

Dorongan mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tinginya, seringkali mengakibatkan terabaikanya upaya pembinaan kelembagaan dan pembinaan kapasitas. Pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui centrally impose blue print plan (Korten, 1986) yang di rumuskan oleh teknokrat dan alokasi sumber pembangunan yang sentralistis cenderung meng-criple-kan potensi masyarakat. Model pembanguna yang demikian pada hakikatnya merupakan gaya pembangunan delivered development. Kecenderungan menerapkan gaya pembangunan ini cenderung menumbuhkan hubungan dependensi antara rakyat dan proyek pembangunan atau antara rakyat dengan birokrat. Karenanya, sifatnya menjadi disempowering, menekan kemampuan masyarakat untuk mengaktualisasikan potensinya.


 

Banyaknya mortality rate proyek-proyek pembangunan merefleksikan lemahnya sustainability proyek tersebut (Tjokroaminoto, 1996) yang di cirikan sebagai berikut: prakarsa biasanya di mulai dari pusat dalam bentuk rencana formal; proses penyusunan program bersifat statsis dan didominasi oleh pendapat pakar atau teknokrat; teklnologi yang di gunakan bersifat scientific dan berasal dari luar; mekanisme kelembagaanya bersifat top down; pertumbuhannya cepat, tetapi bersifat mekanistik; organisatornya para pakar specialis; evaluasinya bersifat eksternal dan berorientasi pada impact; dan fokus perhatiannnya adalah bagaimana dapat menyelesaikan proyek tepat pada waktunya. Kelemahannya terletak pada ketidakmampuannya mencapai kondisi self-generation of input sehingga membahayakan keberlanjutan proyek pembangunan tersebut.


 

Sehinga interpretasi lain sustainable development di dorong oleh adanya kenyataan tingginya mortality of Rate proyek–proyek pembangunan di negara-negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan itu berkembang dengan kekuatan sendiri. Dalam konteks ini, sustaianble development dapat di artikan sebagai


 

"The ability of a development project to generate sufficiently a net surplus as input for further development"


 

Oleh karena itu, menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) Kedua interpretasi diatas menunjukan kualitas untuk tumbuh dengan kekuatan senfdiri. Keduanya menyangkut hubungan yang optimal antara input dan output. Perbedaanya nampak terletak pada level of analysis-nya. Interpretasi pertama pada derajat makro dan interpretasi kedua pada derajat mikro. (MAA, 2009)