MENGGUGAT KONSEP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
Pembangunan yang berkelanjutan atau Sustainable development bermula dari salah satu permasalahan yang dibahas pada konferensi Stockholm, UN Conference on the Human Environment pada tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan memperhatikan faktor lingkungan. Selanjutnya oleh komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (world commission on environment and development, WCED) (juga dikenal dengan komisi Brundtland) tahun 1987, mempertegasnya menjadi konsep sustainable development (Soerjani, 1997). Sebagai perwakilan dari Indonesia adalah Prof. Emil Salim, yang hasil konferensinya berhasil mengeluarkan laporan berjudul "Our Common Future", kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1988 dengan judul "Hari Depan Kita Bersama". Sehingga sustainable development dapat di interpretasikan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa berkompromi (baca: mengurangi) kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka
Menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) dalam bukunya "Pembangunan: Dilema dan tantangan", keberhasilan paradigma pertumbuhan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah membawa berbagai akibat yag negatif. Momentum pembangunan di capai dengan pengorbanan (at the expense of)
deteriorasi ekologis, penyusutan sumber alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan dependensi. Sejumlah pemikir dari Massachusets Institut of Technology dan Club of Rome, misalnya memperingatkan bahwa kalau laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk dunia tetap seperti ini, pada suatu ketika akan tercapai batas ambang (thresold) pertumbuhan, dan akan terjadi kehancuran planet bumi ini sebagai suatu sistem. Mereka berpendapat bahwa di dalam satu abad, batas ambang pertumbuhan akan tercapai. Pandangan neomalthusian persepective ini pada hakikatnya mengajukan teori tentang integrasi jangka panjang antara penduduk, sistem ekonomi dan SDA. Pokok-pokok pikirannya adalah sbb:
Pertama, pertumbuhan ekponensial merupakan sifat yang melekat pada kependudukan dan sistem kapital. Penduduk dan kapital materiil tumbuh secara ekponensial melalui proses reproduksi dan produksi.
Kedua, ada keterbatasan potensi planet bumi, yang dapat dismpulkan dari empat (4) asumsi dasar, yaitu: terbatasnya cadangan non-renewable resources yang dapat di ekploitasi; terbatasnya keamampuan lingkukangan untuk dapat menyerap polusi, terbatasnya lahan yang dapat di tanami; terbatasnya produksi persatuan lahan; dengan kata lain ada batas fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.
Ketiga, tertundanya dalam waktu yang lama umpan balik (feedback) yang mengontrol pertumbuhan fisik sistem dunia. Lembaga-lembaga sosial yang ada hanya memberikan respons terhadap situasi dimana mereka mempunyai informasi. Karena informasi yang mereka dapat tidak lengkap dan terlambat, maka umpan balik juga akan terlambat.
Keempat, ada dua alternatif yang dapat diberikan, yaitu: menghilangkan gejala adanya keterbatasan yang menghambat pertumbuhan atau memperlemah kekuatan yag mendorong pertumbuhan.
Kelima, pilihan hendaknya diberikan pada equilibrium state, yaitu situasi di mana kondisi kependudukan telah mencapai derajat kestabilan pada tingkat tertentu yang dikehendaki dan dimana kebutuhan materiil tercukupi dengan memanfatakan input yang tidak dapat di perbaharui dan yang menimbulkan polusi secara minimal.
Dari krtik cendikiawan MIT dan Club of Rome terhadap laju pertumbuhan yang terjadi. Demi kelangsungan planet bumi yang pada hakikatnya telah menemukan landasan bagi pemikiran yang berkembang kemudian dari persepektif ekologi yang kemudian di kenal dengan pemikiran tentang sustained development.
Namun kritik juga datang dari pendukung paradigma pembangunan lain, yang melihat bahwa paradigma pertumbuhan cenderung menciptakan efek negatif tertentu yang akibatnya menurunkan derajat keberlanjutan pembangunan.
Dorongan mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tinginya, seringkali mengakibatkan terabaikanya upaya pembinaan kelembagaan dan pembinaan kapasitas. Pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui centrally impose blue print plan (Korten, 1986) yang di rumuskan oleh teknokrat dan alokasi sumber pembangunan yang sentralistis cenderung meng-criple-kan potensi masyarakat. Model pembanguna yang demikian pada hakikatnya merupakan gaya pembangunan delivered development. Kecenderungan menerapkan gaya pembangunan ini cenderung menumbuhkan hubungan dependensi antara rakyat dan proyek pembangunan atau antara rakyat dengan birokrat. Karenanya, sifatnya menjadi disempowering, menekan kemampuan masyarakat untuk mengaktualisasikan potensinya.
Banyaknya mortality rate proyek-proyek pembangunan merefleksikan lemahnya sustainability proyek tersebut (Tjokroaminoto, 1996) yang di cirikan sebagai berikut: prakarsa biasanya di mulai dari pusat dalam bentuk rencana formal; proses penyusunan program bersifat statsis dan didominasi oleh pendapat pakar atau teknokrat; teklnologi yang di gunakan bersifat scientific dan berasal dari luar; mekanisme kelembagaanya bersifat top down; pertumbuhannya cepat, tetapi bersifat mekanistik; organisatornya para pakar specialis; evaluasinya bersifat eksternal dan berorientasi pada impact; dan fokus perhatiannnya adalah bagaimana dapat menyelesaikan proyek tepat pada waktunya. Kelemahannya terletak pada ketidakmampuannya mencapai kondisi self-generation of input sehingga membahayakan keberlanjutan proyek pembangunan tersebut.
Sehinga interpretasi lain sustainable development di dorong oleh adanya kenyataan tingginya mortality of Rate proyek–proyek pembangunan di negara-negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan itu berkembang dengan kekuatan sendiri. Dalam konteks ini, sustaianble development dapat di artikan sebagai
"The ability of a development project to generate sufficiently a net surplus as input for further development"
Oleh karena itu, menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) Kedua interpretasi diatas menunjukan kualitas untuk tumbuh dengan kekuatan senfdiri. Keduanya menyangkut hubungan yang optimal antara input dan output. Perbedaanya nampak terletak pada level of analysis-nya. Interpretasi pertama pada derajat makro dan interpretasi kedua pada derajat mikro. (MAA, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar