"SEDIKITNYA KEPEDULIAN KITA AKAN BERARTI BESAR BAGI KEBERLANGSUNGAN KEHIDUPAN ALAM SEMESTA" KOMUNITAS GREEN CHEMISTRY ADALAH SUATU WADAH YANG DI TUJUKAN UNTUK MENDISKUSIKAN, MEWACANAKAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN KHUSUSNYA YANG TERJADI DI INDONESIA DAN DI DUNIA PADA UMUMNYA
Kamis, 22 Oktober 2009
PSDAL : PEGELOLAAN DAS
Tujuh kriteria dari fungsi DAS yang berhubungan dengan karakteristik lokasi dan aliran sungai,relevansinya dengan multi pihak yang tinggal di daerah hilir serta beberapa indikatornya.
Rabu, 21 Oktober 2009
MENGENAL ZEOLIT
Mengenal mineral zeolit
Definisi zeolit menurut ahli Kristalografi berkebangsaan Amerika Serikat yaitu, Prof. J.V Smith pada 1984 adalah :
"A zeolite is an aluminosilicate with a framework structure enclosing cavities occupied by large ions and water molecules, both of which have considerable freedom of movement, permitting ion-exchange and reversible dehydration".
(Kristal Alumino Silikat yang mempunyai struktur sangkar tiga dimensi (framework), mempunyai Rongga (cavity), dan saluran (Channel) yang mengandung kation Logam alkali dan alkali tanah (Na, K, Mg, Ca,), serta molekul air.
Pada tahun 1756 seorang ilmuwan mineral asal Swedia Axel Cronstedt, menemukan sejenis mineral stilbite yang kemudian diketahui sebagai zeolit dengan tipe STI. Mineral ini bila dipanaskan akan mengeluarkan gelembung-gelembung udara seprti batuan mendidih (boiling stone) hal ini disebabkan karena proses kehilangan molekul air (dehidrasi) dari mineral tersebut. Di kemudian hari mineral itu disebut sebagai zeolit didalam bahasa Yunani. Zeni atau zeo" dan Lithos" yang berarti batu yang mendidih, karena apabila dipanaskan akan membuih dan mengeluarkan air (Breck, 1974 dalam Lefond, 1983).
Pada tahun 1840, Damour seorang peneliti Mineral yang pertama kali mengemukakan bahwa mineral zeolit mempunyai kemampuan sebagai adsorben. Ia mengamati bahwa mineral zeolit dapat di dehidrasi secara reversibel tanpa menunjukkan adanya perubahan morfologi. Kemudian pengamatan berlanjut pada kemampuan zeolit untuk melakukan pertukaran ion (ion exchange) oleh Eichorn pada tahun 1858. Setelah itu Weighel dan Steinhoff pada tahun 1925 melaporkan bahwa chabasite dapat mengadsorpsi secara selektif molekul-molekul senyawa organik berukuran kecil dalam campurannya dengan molekul-molekul besar. Menyusul kemudian penemuan oleh Mc Bain pada tahun 1932 yang melakukan uji coba pemanasan mineral zeolit (aktivasi) dan memperoleh zeolit yang dapat menyerap molekul-molekul gas dengan ukuran partikel tertentu.
Penemuan mineral zeolit tidak terbatas pada zeolit alam saja. Pada tahun 1959 Break dan Milton berhasil mensintesis zeolit-A, dan dalam selang waktu yang singkat diikuti sintesis zeolit X dan Y. Kemudian dalam beberapa tahun berikutnya penelitian tentang mineral zeolit terus dilakukan. Hingga pada tahun 1977 ditemukan deposit (cadangan mineral) zeolit yang melimpah di USA, Rusia, Jepang, Australia, Kuba dan sebagian Eropa timur
Sementara di Indonesia sendiri zeolit baru ditemukan pada tahun 1985 oleh Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) Bandung dalam jumlah besar terutama dari jenis zeolit clipnotilolite dan mordenite, yang penyebarannya hampir merata di beberapa daerah di pulau Sumatra dan pulau Jawa.
SEPULUH PRINSIP AIR
1. Air adalah sumber segala kehidupan
2. Air adalah milik bumi dan seluruh makhluk hidup.
3. Sedapat mungkin air harus berada tetap pada sumber dan asalnya
4. Konservasi air
5. Air yang tercemar harus segera disehatkan
6. Air dapat dilindungi ketika berada di daerah aliran airnya yang alami
7. Akses pada pasokan air bersih yang cukup adalah hak dasar manusia
8. Pembela air yang terbaik adalah masyarakat atau warga Negara setempat
9. Masyarakat dan pemerintah adalah mitra sejajar untuk melindungi air
10. globalisasi ekonomi tidak mendukung keberlanjutan air (water susutainable)
Sabtu, 29 Agustus 2009
APAKAH SEBENARNYA LEACHATE ITU?
• Tipe atau jenis materi limbah yang dibuang pada suatu landfill
• kondisi landfill yang meliputi PH, Suhu, kelambapan, usia limbah maupunn usia landfill itu sendiri, dan iklim
• krakteristik endapan yang masuk kedalam suatu landfill
Pengumpulan landfill leachate.
• Eductors, lain hal dengan sistem borehole pump, sistem ini bekerja terus menerus, tidk perduli terdapat leachate atau tidak, seistem ini banyak digunakan,namun tentunya banyak memghabiskan energi
• lakukan analisis komposisi leachate yang diperoleh di laboratorium.
• buang komposisi yang tidak diinginkan.
• Semakin tinggi konsentrasi leachate, maka semakin tinggi pula kemungkinan terkontaminasinya air tanah.
• Permeabilitas lapisan tanah yang tepat dibawah permukaan landfill mempengaruhi kecepatan aliran leachate. Lapisan pasir mempunyai pros yang besar, sehingga aliran alir atau leachate dapat dengan mudah mengalir. Sementara tanah lempung lebih dapt mencegah pergerakan air tanah, sehingga lebih efektif menyaring kontaminan.
• Karakteristik dari suatu lanfill dam limbanh buangannya, leachate dapat menjadi sangat beracun. Umumnya leachate mempunyai konsentrasi BOD tinggi, TOC tinggi, Nitrogen tinggi, klorida tinggi, besi, mangan, dan fenol. Selain tiu juga bahan kimia lainnya seperti pestisida, pelarut organik, dan logam berat.
BAHAYA LEACHATE.
SARDINIA '93 IV INTERNATIONAL LANDFILL SYMPOSIUMS.
Margherita di Pula, Italy, 11-15 October 1993
Minggu, 23 Agustus 2009
EINSTEIN LETTER'S (JULY 16, 1939)
“Yes, we have to divide up our time like that, between our politics and our equations. But to me our equations are far more important, for politics are only a matter of present concern. A mathematical equation stands forever.”
- Albert Einstein -
“There is a mysterious cycle in human events. To some generations, much is given, of other generations, much is expected. This generation of Americans has a rendezvous
with destiny.”
- President Franklin D. Roosevelt
Senin, 10 Agustus 2009
HALAL-HARAM MSG
Untuk mengetahui dampak kesehatan dan apakah substansi yang menjadi sumber perdebatan MSG itu, terlebih dahulu perlu diketahui jenis-jenis bahan tambahan makanan dan minuman (zat additive) yang berkembang saat ini. Sehingga ada sebaiknya perlu diluruskan terlebh dahulu antara zat aditif dengan zat adiktif itu, Karena ada kesan bahwa yang pada awalnya hanya ditambahkan guna memperbaki sifat fisika maupun kimia bahan pangan/minuman tertentu (additive), berlanjut menjadi persoalan addictive (mengakibatkan kecanduan). Dalam hal ini MSG digunakan sebagai penguat rasa yang biasa ditambahkan pada makanan, misalnya, makanan cepat saji, capcay, bakso, sup, nasi goreng, mie ayam, bumbu mie instant dan seterusnya. MSG digolongkan sebagai FLAVOR. Flavor adalah suatu bahan yang ditambahkan untuk membuat produk menjadi mantap atau lezat serta menguatkan cita rasa. Jenis flavor itu sendiri adalah :
1. Full/complete flavor adalah jenis flavor yang dapat menghasilkan atau menimbulkan bentuk flavor yang khas dan lengkap contoh : flavor buah-buahan : strawbery
2. Flavor enhancer/flavor, modifier/flavor entensifier adalah flavor yang dtambahkan untuk memperkuat dan membangkitkan flavor lain. Contoh : asetaldehid dapat membangkitkan flavor jeruk
3. Flavor EXTENDER adalah jenis flavor yang tidak memiliki rasa tetapi dapat mereduksi rasa lain yang tidak menguntungkan. Contoh : flavor pada bubuk coklat
4. Flavor potensiator adalah flavor yang dapat meningkatkan rasa yang diinginkan dan dapat menekan rasa yang tidak diinginkan contoh : MSG, IMP, GMP.
Pada pembahasan kali ini hanya sedikit dijelaskan salah satu contoh flavoring agent yang sangat kita kenal yaitu monosodium glutamat (MSG) atau biasa dikenal vetsin.
MSG/VETSIN
Pada Tahun 1970, 1973 dan 1987 Organisasi Kesehatan dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dua organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (UNO) menyatakan bahwa keamanan MSG bagi manusia tidak perlu diragukan lagi, sekalipun mungkin masih ada sekelompok kecil orang tertentu yang belum mengetahui hal ini. Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) merasa perlu, walaupun secara singkat, untuk memberikan penerangan yang benar perihal MSG (monosodium glutamat) atau lebih dikenal dengan nama Vetsin.
APAKAH MSG ATAU VETSIN ITU?
MSG (monosodium glutamat) atau mononatrium glutamat adalah garam sodium dari asam glutamat. Asam glutamat adalah suatu asam amino yang merupakan salah satu komponen penting protein yang dibutuhkan tubuh kita. Secara alami asam glutamat terdapat dalam makanan kita sehari-hari seperti daging, ikan, telur, susu (termasuk ASI), keju, tomat dan berbagai macam sayuran. Berikut ini reaksi sintesis MSG :
BAHAN BAKU MSG
Bahan baku MSG yang dibuat di Indonesia, umumnya berasal dari tetes tebu (molases). Molases merupakan hasil sampingan dari penggilingan gula, terutama gula pasir yang banyak di produksi di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah . MSG juga diketahui dibuat dari bahan nabati lyang lain, seperti tapioka dan sejenisnya. Jadi jelas, MSG yang dibuat di Indonesia, berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan) yang dibuat melalui proses peragian (fermentasi). Pernah terdengar desas-desus bahwa di luar negeri ada MSG yang diolah dari bahan baku sisa minyak bumi. Desas-desus ini perlu dibantah karena tidak benar.
MANFAAT MSG SEBAGAI PENGUAT CITA RASA
MSG menguatkan rasa atau aroma bahan makanan pokok itu sendiri. Manfaat lainnya adalah menghilangkan rasa tidak enak yang terdapat pada bahan makanan tertentu, misalnya menghilangkan rasa ‘langu kentang’. Namun, tidak berarti bahwa MSG dapat menghilangkan rasa tidak enak bahan makanan yang sudah rusak. MSG mudah larut dalam air. Keunikan MSG adalah, selain sebagai penguat cita rasa, bila dimakan, dalam tubuh manusia mudah bersenyawa dengan asam amino lainnya dan akan membentuk protein.
ISU "CHINESE RESTAURANT SYNDROME"
Pada tahun 1968 seorang dokter bernama Ho Man Kwok menulis dalam Ruang Surat Pembaca pada suatu majalah kedokteran, ia mengisahkan pengalamannya (bukan hasil penelitian ilmiah!) berupa rasa mual, kaku pada leher dan pening setelah makan di salah satu restoran Cina. Gejala-gejala ini kemudian dikenal dengan "Chinese Restaurant Syndrome" (CRS) atau "sindrome Restoran Cina". Pengalaman Dokter Kwok itu menarik perhatian banyak orang. Sejak itu para ilmuwan mulai mengadakan penelitian-penelitian. Hasil penelitian-penelitian itu kemudian diajukan dalam suatu Simposium Internasional yang diselenggarakan di Milan, Italia, tahun 1978 dan di Bergamo, Italia, tahun 1998.
MSG : AMAN BAGl MANUSIA
Para peneliti telah membuktikan bahwa MSG aman bagi manusia.
A. Penelitian di Luar Negeri :
1. National Academy of Science (NAS) dan National Research Council (NRC) di Amerika Serikat, tahun 1979.
2. Joint WUO/FAO Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari Perserikatan Bangsa-bangsa, tahun 1970 dan 1973.
3. Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) di Amerika Serikat, tahun 1995.
HASIL PENELITIAN
Panitia gabungan para pakar WHO dan FAO mengenai bahan tambahan pangan mengumumkan hasil penelitian mereka:
a) Pada tahun 1970 dan 1973 menyatakan bahwa MSG aman bagi manusia dan boleh digunakan sebagai bahan tambahan pangan (food additives)
b) Pada tahun 1970, semata-mata karena alasan bahwa sebaiknya kita hati-hati, JECFA menganjurkan, agar MSG tidak diberikan kepada bayi berusia di bawah 12 minggu (3 bulan).
c) JECFA menetapkan angka ADI (Acceptable Daily Intake), yaitu jumlah maksimal yang boleh dikonsumsi seseorang setiap hari, yaitu 120 mg/kg berat badan untuk asam glutamat atau 153 mg/kg berat badan untuk monosodium glutamat. Berarti, seseorang yang mempunyai berat badan 60 kg boleh menggunakan MSG sebanyak 60 x 153 mg = 9.180 mg = 9,1 g (gram) setiap hari, sepanjang hidupnya.
d) Sekalipun IOCU (Organisasi Konsumen Internasioinal) mendesak, agar WHO/FAO meninjau kembali ADI yang telah ditetapkan JECFA, sebab menurut mereka angka itu terlalu tinggi, dalam sidang ke 31 JECFA, Februari 1987 (diumumkan dalam Sidang CCFA, Den Haag, Maret 1987) dihasilkan 2 keputusan yang besar sekali artinya bagi dunia pangan :
(1) ADI 120 mg/kg berat badan dihapus.
2) Anjuran pembatasan konsumsi MSG bagi bayi berusia di bawah 12 minggu dihapus.
Keputusan JECFA memang mempunyai landasan yang kuat. "Sejak tahun 1970 telah dilakukan puluhan penelitian terhadap mencit, marmut, monyet dan manusia. Namun tetap kesimpulan dari Semua penelitian menunjukkan hasil yang meyakinkan bahwa MSG aman untuk dikonsumsi manusia.
Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa metabolisme pada bayi terhadap MSG tidak berbeda dari metabolisme pada manusia dewasa terhadap MSG. Sekalipun demikian, JECFA tetap menganjurkan, agar pemberian bahan tambahan pangan apapun pada makanan bayi dilakukan secara hati-hati. Jumlahnya hendaknya sesedikit mungkin. Keputusan JECFA sungguh telah menghapus keragu-raguan terhadap keamanan penggunaan MSG, baik bagi manusia dewasa maupun bagi bayi. Dengan demikian menghapus pula dugaan akan kemungkinan timbulnya gangguan terhadap retina mata dan otak yang bisa mengakibatkan bloon, kanker dan sebagainya.
Pernyataan Masyarakat Eropa dimana Komite Masyarakat Eropa tersebut terdiri dari pakar yang tidak terikat (independent) dan ahli di bidang obat-obatan, gizi, toksikologi, biologi dan kimia. Pada bulan Juni 1991 Komite Masyarakat Eropa menegaskan bahwa MSG aman bagi manusia. Selain itu, Komite Masyarakat Eropa tidak menemukan bukti toksis yang disebabkan penggunaan MSG. Mereka menyatakan bahwa studi toksisitas, akut dan kronik, pada tikus dan anjing tidak memperlihatkan efek toksis yang spesifik. Pernyataan terakhir ini sama dengan pernyataan yang dikeluarkan JECFA.
Resolusi AMA. AMA (Perkumpulan Dokter Amerika), beranggotakan lebih dari 270.000 dokter, telah mengeluarkan suatu resolusi yang mendukung keamanan MSG untuk dikonsumsi sebagai peryedap makanan (Pertemuan yang diselenggarakan di Chicago, Amurika Serikat, Juni 1992).
B. Penelitian Dalam Negeri
Di Indonesia makanan dan minuman selalu diteliti dan diawasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 235/MENKES/PER/VI/79 tanggal 1979 menetapkan bahwa MSG/Vetsin boleh dipakai secukupnya.
MSG JUGA HALAL, DAN TERJAMIN MUTUNYA
Halal Sebagaimana telah dijelaskan pada awal ulasan ini, MSG yang dibuat di Indonesia, berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan) yang dibuat melalui proses peragian. Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan memang terbukti bahwa dalam pembuatan MSG tidak digunakan unsur hewani. Pada tahun 1962 Fatwa No. XIV dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' yang diketuai Dr Med. Ahmad Ramali menyatakan bahwa Vetsin sebagai Bahan Penyedap adalah halal, dimana di dalamnya tidak terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan ("Vetsin Sebagai Penyedap Ditinjau Dari sudut Hukum Islam Dan Ilmu Kedokteran"- Fatwa XIV oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara, Departemen Kesehatan RI, Djakarta, 1962).
Semua pabrik MSG/Vetsin, anggota P2MI, telah memperoleh Sertifikat Halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kehalalan suatu produk pangan diinformasikan produsen kepada konsumen melalui label halal yang dicantumkan pada kemasan. Mutu MSG terus menerus diawasi dan diharuskan memenuhi syarat mutu sesuai dengan :
a) Persyaratan mutu yang ditetapkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
b) Persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (SII).
c) Standar Nasional Indonesia (SNI).
d) Standar Mutu Internasional.
Sekian paper singkat ini saya informasikan mengenai MSG/Vetsin, penguat cita rasa yang dikenal semua Ibu Rumah Tangga. Perlu dicatat di sini, konsumsi MSG per kapita penduduk Indonesia jauh di bawah konsumsi MSG di Jepang, Taiwan dan Korea pada saat ini. (MAA)
DAFTAR PUSTAKA
Chaudry, Muhammad & Riaz, mian. Halal food production. Washington DC USA CRS press:.2004
Fesenden, fessenden. Kimia organik edisi ketiga. Jakarta. Erlangga: 1982
Muawanah, ana, Foto kopi perkuliahan kimia aditif. Jakarta Fakultas Sains dan Teknologi UIN : 2007
MAA, 2009, www.komunitasgreenchemistry.blogspot.com
www.halalguide.com
www.wikipedia.com
PSDAL
PARA PENGGALI KUBURANNYA SENDIRI
Hans Jonas seorang ahli filsafat abad-20 berkebangsaan Jerman-Amerika dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1979, mengungkapkan titik balik dari kemajuan teknologi. Dimana ia mengingatkan kita bahwa manusia sendirilah yang sedang menggali kuburan umat manusia dan ekosistem dunia. Didasarkan atas perilaku saat ini yang terus berproduksi dan berkonsumsi tanpa henti dan tidak bertanggung jawab terhadap dampak samping yang ditimbulkan akibatnya. Ia mengingatkan bahwa semestinya keadaan ini menimbulkan kesadaran kita untuk dapat mengubah cara hidup guna mencegah terjadinya kehancuran ekosistem bumi. Pada akhirynya perilaku konsumtif-lah yang menjadikan manusia terus menghasilkan sampah dalam jumlah besar.
Agama menganjurkan kebaikan tidak hanya kepada sesama melainkan pada tempat dimana terdapat kehidupan, yang antar lain ditegaskan perintah-perintahnya , yaitu:
Islam
'Janganlah merusak di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Tapi serulah Ia dengan ketakutan dan kerinduan. Sungguh rahmat Allah dekat kepada orang yang berbuat kebaikan (QS Al A'raf, 56)
Kristen
'Tumbuhlah dan berkembang biaklah, dan isilah serta taklukkanlah bumi ini, dan kuasaialah ikan di laut, dan arus udara, dan segenap makhlup hidup yang bergerak di bumi' (Genesis, Bab awal Perjanjian Lama, ayat 28)
Hindu
Agama Hidu menerima konsep bahwa alam adalah 'Ibu Pertiwi', ibu dari semua ibu. Hindu memandang alam sebagai guru, yang memperkaya manusia dengan kearifannya.
Budha
Sang Budha mengajarkan untuk hidup di jalan yang benar dalam keselarasan dengan alam. Pelestarian alam adalah tugas yang harus dilaksanakan oleh semua orang. Apabila manusia/masyarakat bertindak tidak bermoral termasuk merusak alam, pasti akan terjadi akibat yang menyebabkan bencana alam.(ESP, 2008)
Lebih lanjutnya, pembuangan samapah akhir sungguh diartikan hanya didasarkan pada maksud dan tujuannya, menjadikan persemayaman terakhir bagi sampah-sampah. Kenyataannya sampah belum juga tereduksi secara signifikan dalam artian pada jumlah dan jenis serta dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya. Program dunia tentang reduce, reuse, recycle manjadi satu-satunya "jargon" pertama yang di munculkan di dunia. Tanpa disadari akan banyak menemukan dampak yang lanjutannya. Karena yang terjadi adalah hanya bentuk transformasinya, dimana sifat dan jejak dari sampah masih terlihat. Misalnya rembesan lindi (leachate) menuju ke air tanah, penggunaan kembali (reuse) secara berulang-ulang dan mendaur ulang bahan bekas menjadi suatu produk (recycle) tanpa di identifikasi riwayat asalnya dan seterusnya. Semua itu menjadi masalah tersendiri, walaupun pada kenyataannya program tersebut terus publikasikan di seluruh dunia.
Final disposal site adalah lokasi terakhir perjalanan sampah dari manapun asalnya, rumah tangga, pabrik, rumah sakit, agroindustri, dll. Jika kemudian para pemungut ulung khusus untuk benda-benda plastic misalnya,
melakukan recycle (daur ulang) untuk di gunakan kembali pada produk kemasan makanan atau minuman. Lalu bagaiman adakh control atas prose daur ulang tersebut? dan sudahkah memenuhi standar baku mutu yang
ada?. Itulah kondisi dan situasi saat ini yang hidup dimasyarakat 'modern'. Merek sedang menggaali kuburannnya sendiri! (MAA-Komunitasgreenchemistry, 2009)
Jumat, 07 Agustus 2009
TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH AKHIR
Pembuangan akhir sampah (TPA) merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Untuk fase ini dapat menggunakan berbagai metode dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :
1. Open dumping, yakni membuang sampah pada tempat pembuangan sampah akhir secara terbuka di suatu lokasi tertentu
2. Control landfill, yakni pembuangan sampah pada tempat pembuangan sampah akhir seperti halnya pada open dumping, namun disini terdapat proses pengendalian/ pengawasan sehingga lebih tertata.
3. Sanitary landfill, yakni pembuangan sampah pada tempat pembuangan sampah akhir dengan menimbun sampah ke dalam tanah hingga periode waktu tertentu. Dengan demikian cara ini dapat menekan polusi / bau dan kebersihan lingkungan lebih baik dari metode lainnya.
Kastaman dan Kramadibrata (2007) mengungkapkan bahwa menjadi konsekuensi logis dari pembuangan sampah di TPA (landfill) adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar. Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) membutuhkan ruang atau temapt yang luas dan disyaratkan jauh dari tempat pemukiman penduduk. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota, tempat penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan. (Anonymous, 2007, Solid and Hazardous Waste, Chapters 24:Living in the Environment, 14th Edition: LCUSD)
(MAA, 2009)
Minggu, 17 Mei 2009
RATIFIKASI PROTOKOL KYOTO
www.bpkp.go.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17
TAHUN 2004
TENTANG PENGESAHAN
KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE
(PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
TENTANG PERUBAHAN IKLIM)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
- Bahwa tujuan nasional negara Republik Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
- Bahwa Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 telah mengesahkan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) yang mengamanatkan penetapan suatu protokol;
- Bahwa perubahan iklim bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menimbulkan pengaruh merugikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities) dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tiap-tiap negara;
- Bahwa sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut;
- Bahwa sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia perlu mengembangkan industri dengan teknologi bersih khususnya yang rendah emisi;
- Bahwa sebagai negara tropis yang memiliki hutan terluas kedua di dunia, Indonesia memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi;
- Bahwa Protokol Kyoto mengatur emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia agar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil dan tidak membahayakan sistem iklim bumi;
- Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, d, e, f, dan g dipandang perlu mengesahkan Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dengan undang-undang;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasa1 20 ayat (1), (2), (4), (5), Pasal 22A, dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENT/ON ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PERUBAHAN IKLIM).
Pasal 1
Mengesahkan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 28 Juli 2004
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juli 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 72
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN
KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION
ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
TENTANG PERUBAHAN IKLIM)
I. UMUMPerubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih-guna-lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) yang kontribusi terbesar berasal dari negara industri Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim.
Negara industri telah lama menghasilkan emisi GRK yang terakumulasi di atmosfer dalam
jumlah yang besar. Oleh karena itu, sangat beralasan jika mereka berkewajiban menurunkan emisi GRK dan mengatasi dampak perubahan iklim. Sementara itu, negara berkembang yang tidak berkewajiban menurunkan emisi GRK berhak mendapatkan bantuan dari negara industri dalam rangka berpartisipasi secara sukarela untuk menurunkan emisi GRK dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai tata cara, target, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penaatan dan penyelesaian sengketa.
Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.
Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, Indonesia perlu mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy). Di samping itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk menyerap GRK. Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan dialihkan ke negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) yang diatur oleh Protokol Kyoto.
Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) merupakan bentuk investasi baru di negara berkembang yang bertujuan mendorong negara industri untuk melaksanakan kegiatan penurunan emisi di negara berkembang guna mencapai target penurunan emisi GRK dan membantu negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dan mengingat Indonesia telah mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (Konvensi Perubahan
Iklim) melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994, sangatlah penting bagi Indonesia untuk mengesahkan Protokol Kyoto. Dengan mengesahkan Protokol tersebut, Indonesia mengadopsi hukum internasional sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan.
1. Latar Belakang dan Tujuan Protokol Kyoto
Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994, Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994.
Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan oleh Para Pihak, dipandang penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk negara pada Annex I (negara industri atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK sebagai unsur utama periyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Parties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama.
Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5 % di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism).
2. Manfaat Pengesahan Protokol Kyoto
Dengan mengesahkan Protokol Kyoto, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat:
- Mempertegas komitmen pada Konvensi Perubahan Iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities principle) ;
- Melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer sehingga tidak membahayakan iklim bumi;
- Membuka peluang investasi baru dari negara industri ke Indonesia melalui MPB;
- Mendorong kerja sama dengan negara industri melalui MPB guna memperbaiki dan memperkuat kapasitas, hukum, kelembagaan, dan alih teknologi penurunan emisi GRK;
- Mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan;
- Meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK.
3. Materi Pokok Protokol Kyoto
Protokol Kyoto disusun berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan, sebagaimana tercantum dalam prinsip ketujuh Deklarasi Rio, yang berarti bahwa semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi, tetapi dengan kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuan negara masing-masing. Protokol Kyoto terdiri atas 28 Pasal dan 2 Annex:
Annex A : Gas Rumah Kaca dan kategori sektor/sumber.
Annex B : Kewajiban penurunan emisi yang ditentukan untuk Para Pihak.
Materi pokok yang terkandung dalam Protokol Kyoto, antara lain hal-hal berikut.
a. Definisi
Protokol Kyoto mendefinisikan beberapa kelembagaan Konvensi dan Protokol, diantaranya Conference of the Parties (COP) dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) beserta fungsinya dalam pelaksanaan Konvensi dan Protokol. Ditetapkan juga bahwa Para Pihak pada Annex I Konvensi (negara industri, termasuk Rusia dan negara Eropa Timur lain yang ekonominya berada dalam transisi menuju pasar bebas) wajib menurunkan emisi sesuai dengan Annex B.
b. Kebijakan dan Tata Cara
Pasal 2 Protokol Kyoto mengatur kebijakan dan tata cara dalam mencapai komitmen pembatasan dan penurunan emisi oleh negara pada Annex I serta kewajiban untuk mencapai batas waktu komitmen tersebut. Di samping itu, Protokol juga mewajibkan negara industri untuk melaksanakan kebijakan dan mengambil tindakan untuk meminimalkan dampak yang merugikan dari perubahan iklim terhadap pihak lain, khususnya negara berkembang.
c. Target Penurunan Emisi
Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 Protokol Kyoto adalah ketentuan pokok dalam Protokol Kyoto. Emisi GRK menurut Annex A Protokol Kyoto meliputi : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurhexafluoride (SF6) .Target penurunan emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara pada Annex I. Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.
d. Implementasi Bersama
Implementasi Bersama adalah mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Pasal 6 Protokol Kyoto. Implementasi Bersama itu mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang paling menguntungkan. Kegiatan Implementasi Bersama tersebut akan menghasilkan unit penurunan emisi atau Emission Reduction Units (ERU).
e. Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan
Kewajiban bersama antara negara industri yang termasuk pada Annex I dengan negara berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 10 dan 11 Protokol Kyoto. Pasal 10 merupakan penekanan kembali kewajiban tersebut tanpa komitmen baru bagi Para Pihak, baik negara industri maupun negara berkembang seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Konvensi Perubahan Iklim. Pasal 11 menekankan kewajiban negara industri yang menjadi Pihak dalam Protokol Kyoto serta terrnasuk pada Annex II Konvensi untuk menyediakan dana baru dan dana tambahan, termasuk alih teknologi untuk melaksanakan komitmen Pasal 10 Protokol Kyoto.
f. Mekanisme Pembangunan Bersih
Mekanisme Pembangunan Bersih yang diuraikan dalam Pasal 12 Protokol Kyoto merupakan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Negara industri melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan utama Konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan penurunan emisi melalui MPB harus disertifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk oleh Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties (COP/MOP).
g. Kelembagaan
Lembaga-lembaga yang berfungsi melaksanakan Protokol Kyoto adalah .COP/MOP sebagai lembaga tertinggi pengambil keputusan Protokol (Pasal 13); Sekretariat Protokol juga berfungsi sebagai Sekretariat Konvensi melakukan tugas-tugas administrasi Protokol (Pasal 14); dan Subsidiary Body
for Scientific and Technological Advice (SBSTA), sebagai Badan Pendukung yang memberi masukan ilmiah kepada COP/MOP untuk membuat keputusan (Pasal 15).h. Perdagangan Emisi
Perdagangan Emisi sebagaimana diatur dalam pasal 17 merupakan mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.
i. Prosedur Penaatan dan Penyelesaian Sengketa
Ketidaktaatan (non compliance) atas kewajiban yang ditentukan dalam Protokol diselesaikan sesuai dengan prosedur dan mekanisme penaatan yang ada dalam ketentuan Pasal 18 Protokol Kyoto. Sesuai dengan Pasal 19 Protokol .Kyoto, apabila terjadi perselisihan di antara Para Pihak, proses penyelesaian sengketa (dispute settlement) mengacu Pasal 14 Konvensi.
4. Peraturan Perundang-undangan Nasional yang Berkaitan dengan Protokol Kyoto.
Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan mendukung proses
pelaksanaan Protokol Kyoto. Peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain sebagai berikut:
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);]
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations. Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negard Nomor 3557);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888).
5. Tindak Lanjut Pengesahan Protokol Kyoto
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut mempunyai kaitan dengan ketentuan dalam Protokol Kyoto. Namun, pengesahan Protokol Kyoto masih
memerlukan pengembangan peraturan dan kelembagaan untuk melaksanakan dan memanfaatkan peluang yang ada dalam Protokol. Agar peluang yang ada dalam Konvensi dan Protokol dapat dimanfaatkan secara optimal, upaya sosialisasi perlu dilakukan secara efektif dan terintegrasi melalui koordinasi antarsektor yang diatur oleh perangkat peraturan dan kelembagaan yang jelas sehingga dampak negatif perubahan iklim terhadap lingkungan dan kehidupan manusia dapat diminimalkan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka dipergunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris .
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4403
Sabtu, 16 Mei 2009
PSDAL
KUALITAS MANUSIA DAN KUALITAS LINGKUNGAN
Menurut Soerjani (2008) Mahluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Tetapi semenjak dahulu kala kecuali manusia, mahluk hidup yan lain itu menjadi penyebab timbulnya perubahan secara alami, yang bercirikan keajegan, keseimbangan, dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kuasai khususnya, serta perkembangan budaya pada umumnya.
Dalam ilmu lingkungan tidak sekedar timbal balik dan sebab akibat yang kita persoalkan, tetapi juga apakah manfaat dan risiko dari perbuatan atau kegiatan kita itu, kecauli menimbulkan manfaat langusng pada diri kita sendiri, bagi orang lain dan mahluk hidup sekitarnya, maka tindakan itu dapat dikatakan benar dan sebaliknya. Sehingga dalam ilmu studi lingkunagn ada masalah benar atau salah. Dengan kata lian ilmu lingkungan adalah ekologi ditambah dengan peritmbangan modal benar atau salah. Oleh karena itu, ilmu lingkungan harus memasukkan moral alam kedalam moral manusia. Yang pada hakikatnya pokok pengelolaan llingkungan hidup oleh manusia itu adalah bagaimana manusia melakukan upaya agar kualitas manusia makin meningkat, sementara kualitas ligkungan juga semakin baik. Hal ini merupakan landasan ilmiah mengapa masalah lingkungan hidup di Indonesai di kaitkan dengan masalah kependudukan. Sehinga dapat pula diartikan bahwa masalah lingkungan yang paling menonjol dan perlu memperolah prioritas pengelolaan adalah masalah kependudukan (Soerjani, 2008).
HOLISME DAN HUKUM MINIMUM
Holisme itu sendiri dapat di maknai yaitu pandangan yang utuh terhadap lingkungan hidup. Tentunya semua komponen yang mengisi lingkungan itu akan saling berinteraksi satu sama lai, ada interaksi yang penting, sedang dan kurang
Hukum minimum mengatakan bahwa nilai, hasil, atau kualitas suatu sistem ditentukan oleh faktor pendukungnya yag berada dalam keadan minimum. Pendekatan dan pengelolaan kualitas lingkungan secara progresif ini berdasarkan gagasan Vayda (1982) tentang kontekstualisasi progresif yang melihat sesuatu permasalah menurut konteks pokoknya dan dikembangkan menurut keperluannya dengan melihat konteks persoalan berikutnya. Jadi dalam melakukan pengelolaan lingkungan uratan prioritas pada masalah yang pokok karena faktor ini merupakan peluang terbesar dan terpenting memperbaiki keadaan.
Etika lingkungan adalah berbagai prinsip moral lingkungan. Jadia etika lingkungan merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan kita tidak saja mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan juga membatasi tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap dalam batas kelentingan lingkungan hidup kita.
Permasalah pengeleloaan SDA
Sumber daya alam adalah suatu sumber daya yang terbentuk karena kekutan alamiah, tanah, air, dan perairan biotis, udara dan ruang, mineral, bentang alam, panas bumi angin pasang surut dan seterusnya. Berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, pemanfaatan sumber daya alam kemudian di kelola sedemikian rupa berdasarkan potensinya misalnya, sumber alam penghasil energi: air, pasang surut, gas bumi, minyak bumi, batubara, angin matahari dan seterusnya. Kemudian akan dengan sendirinya muncul permasalahan berikutnya berkaitan dengan pemanfataan SDA, dalam kaitannya dengan mendukung kehidupan di muka bumi ini. Permasalahan itu dapat di sarikan menjadi beberapa aspek antara lain (Soerjani, 2008):
- Kependudukan dan lingkungan hidup
Dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk dan pola penyebarany yang kurang/tidak seimbang dengan penyebartan SDA serta daya dukung lingkungan. Selain pengaturan pemanfaatan SDA yang belum memadai.
- Produktivitas lahan
Kegiatan membuka hutan untuk perladangan (huma) yang selalu berpindah-pindah guna mencari lahan yang subur misalnya, dapat menyebabkan kerusakan hutan. Sementara kegitan itu hanya menghasilkan produktivitas pangan yang sedikit dibangdingkan tenaga yang dibutuhkan. Untuk alasan itu di Indonesia sendiri menerapkan program transmigarasi yang tujuannya menciptakan permukiman-permukiman yang menetap, tidak lagi berpindah-pindah
- Pencemaran lingkungan
Di lingkungan permukiman dan industri masalah utama yang masih tetap belum terpecahkan adalah masalah limbah kota dan limbah industri. Umumnya limbah masih di buang di sungai, laut atau di pendam di tanah. Selain itu, meningkatnya penggunaan kendaran bermotor di perkoataan menimbulkan pencemaran udara yang terus naik.
- Peran serta masyarakat
Kesadaran masyarakat mengenai masalah lingkungan mulai tumbuh, namun belum cukup kuat mengahasilkan wujud nyata dalam mempengaruihi perilaku dan motivasi yang mengahasilkan tindakan nyata dalam usaha swadaya perbaikan lingkungan hidup. Lihat suku mentawai dan baduy, melalui hubungan kuat budayanya, memberikan tempat tinggi kepada pelestarian air dan hutan lindung dan satwa langka. Walaupun semua agama mewajibkan pemeluknya untuk memlihara ciptaan Tuhan, yang menjadi masalah disini adalah kurangnya pemahaman tentang tata nilainya
- Lingkungan perairan laut
Pemanfaatan terumbu karang dan pasir pantai untuk bahan bangunan telah meningkat. Selain itu penggunaan bahan peledak dan racun untuk kegiatan perikananan telah banyak menimbulkan kerusakan. Selain itu bukti ilmiah di beberapa daerah tetrtentu, kawasan industri, misalnya di temukan pencemaran logam berat, pencemaran panas dll.
- Tata guna sumber alam dan lingkungan
Usaha penanganan kawasan hutan produksi selalu mengalami berbagai masalah, terutama karena belum jelasnya tata guna hutan, masih adanya perladangan berpindah, serta perlu adanya perluasan transmigrasi dan usaha perkebunan dan pertambangan
- Pelestarian alam
Meningkatnya daerah hunian baru, beberapa jenis konstruksi dan prasana penunjang lainnya dan keperluan bahan bangunan, batu, tanah, air dan pasir dapat menimbulkan kerusakan lingkungan bila kegiatan penambangan bahan –bahan bangunan tersebut tidak terkelola dengan baik. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman yang semakin meningkat
- Pengelolaan lingkungan hidup.
Usaha menumbuhkann kemampuan dalam menangani masalah lingkungan hidup di daerah-daerah di mulai dengan di bentuknya pusat-pusat studi lingkungan hidup, biro kependudukan dan lingkungan hidup. Pusat studi lingkungan hidup adalah pusat pengkajian SDA dan Lingkungan hidup yang diharapakan dapat memberikan masukan teknologi yang memadai dalam rangka mengelola lingkungan hidup. Pengaturan pembangunan berwawasan lingkungan memang belum berkembang seperti yang di harapakan. Misalnya di daerah melalui BAPPEDA, diharapkan dapat merencanakan pembangunan yang memperhatikan lingkungan.
Dengan demikian pemanfatan SDA perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikuit:
- Daya guna dan hasil guna yang dikehendaki harus dilihat dalam batas-batas yang optimal sehubungan dengan kelestarian sumber daya alam yang mungkin di capai
- Tidak mengurangi kemampuan dan kelestarian alam lain yang berkaitan dalam suatu ekosistem
- Memberikan kemungkinan untuk mengadakan pilihan penggunaan dalam pembangunan di masa mendatang.
Dari uraian singkat diatas dapat diambil suatu kesimpulan sedikit bahwa kenyataannya bukanlah suatu konsep lama yang banyak di tulis atau di bicarakan untuk bagaiaman meningkatkan kualitas hidup manusia. Hal ini di maksudkan perlu sinergi antara para pembuat kebijakan (pemerintah) masyarakat itu sendiri dan akitivis lingkungan (bisa berasal dari kalangan akdemisi) untuk terus mewujudkan lingkungan hidup yang baik tanpa meniadakan kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak. Lihat di Indonesia Standar of living and Quality of life (sol dan qol), tentunya memiliki angka banding yang berbeda dari berbagai negara dan zaman. Hal ini dapat saja terjadi bila lingkungan budayanya memliki perbedaan. Maksudnya tidak akan cukup simetris kehidupan masyarakat di suatu daerha tertentu dimasa tertentu bila dibandingkan dengan kehidupann saat ini. Yang seharusnya jelas akan terus meningkatkan standar kehidupan dan kualitas hidupnya seiring meningkatnya kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya. Tinggal bagaimana manajemen pengelolaan kebutuhan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungannya. Dengan kata lain meningkatnya Standar kehidupan saat ini tidak sejalan dengan meningkatnya qualitas kehidupan.
(MAA-Komunitas Green Chemistry, 2009)
Selasa, 05 Mei 2009
MENGGUGAT KONSEP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
MENGGUGAT KONSEP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
Pembangunan yang berkelanjutan atau Sustainable development bermula dari salah satu permasalahan yang dibahas pada konferensi Stockholm, UN Conference on the Human Environment pada tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan memperhatikan faktor lingkungan. Selanjutnya oleh komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (world commission on environment and development, WCED) (juga dikenal dengan komisi Brundtland) tahun 1987, mempertegasnya menjadi konsep sustainable development (Soerjani, 1997). Sebagai perwakilan dari Indonesia adalah Prof. Emil Salim, yang hasil konferensinya berhasil mengeluarkan laporan berjudul "Our Common Future", kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1988 dengan judul "Hari Depan Kita Bersama". Sehingga sustainable development dapat di interpretasikan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa berkompromi (baca: mengurangi) kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka
Menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) dalam bukunya "Pembangunan: Dilema dan tantangan", keberhasilan paradigma pertumbuhan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah membawa berbagai akibat yag negatif. Momentum pembangunan di capai dengan pengorbanan (at the expense of)
deteriorasi ekologis, penyusutan sumber alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan dependensi. Sejumlah pemikir dari Massachusets Institut of Technology dan Club of Rome, misalnya memperingatkan bahwa kalau laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk dunia tetap seperti ini, pada suatu ketika akan tercapai batas ambang (thresold) pertumbuhan, dan akan terjadi kehancuran planet bumi ini sebagai suatu sistem. Mereka berpendapat bahwa di dalam satu abad, batas ambang pertumbuhan akan tercapai. Pandangan neomalthusian persepective ini pada hakikatnya mengajukan teori tentang integrasi jangka panjang antara penduduk, sistem ekonomi dan SDA. Pokok-pokok pikirannya adalah sbb:
Pertama, pertumbuhan ekponensial merupakan sifat yang melekat pada kependudukan dan sistem kapital. Penduduk dan kapital materiil tumbuh secara ekponensial melalui proses reproduksi dan produksi.
Kedua, ada keterbatasan potensi planet bumi, yang dapat dismpulkan dari empat (4) asumsi dasar, yaitu: terbatasnya cadangan non-renewable resources yang dapat di ekploitasi; terbatasnya keamampuan lingkukangan untuk dapat menyerap polusi, terbatasnya lahan yang dapat di tanami; terbatasnya produksi persatuan lahan; dengan kata lain ada batas fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.
Ketiga, tertundanya dalam waktu yang lama umpan balik (feedback) yang mengontrol pertumbuhan fisik sistem dunia. Lembaga-lembaga sosial yang ada hanya memberikan respons terhadap situasi dimana mereka mempunyai informasi. Karena informasi yang mereka dapat tidak lengkap dan terlambat, maka umpan balik juga akan terlambat.
Keempat, ada dua alternatif yang dapat diberikan, yaitu: menghilangkan gejala adanya keterbatasan yang menghambat pertumbuhan atau memperlemah kekuatan yag mendorong pertumbuhan.
Kelima, pilihan hendaknya diberikan pada equilibrium state, yaitu situasi di mana kondisi kependudukan telah mencapai derajat kestabilan pada tingkat tertentu yang dikehendaki dan dimana kebutuhan materiil tercukupi dengan memanfatakan input yang tidak dapat di perbaharui dan yang menimbulkan polusi secara minimal.
Dari krtik cendikiawan MIT dan Club of Rome terhadap laju pertumbuhan yang terjadi. Demi kelangsungan planet bumi yang pada hakikatnya telah menemukan landasan bagi pemikiran yang berkembang kemudian dari persepektif ekologi yang kemudian di kenal dengan pemikiran tentang sustained development.
Namun kritik juga datang dari pendukung paradigma pembangunan lain, yang melihat bahwa paradigma pertumbuhan cenderung menciptakan efek negatif tertentu yang akibatnya menurunkan derajat keberlanjutan pembangunan.
Dorongan mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tinginya, seringkali mengakibatkan terabaikanya upaya pembinaan kelembagaan dan pembinaan kapasitas. Pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui centrally impose blue print plan (Korten, 1986) yang di rumuskan oleh teknokrat dan alokasi sumber pembangunan yang sentralistis cenderung meng-criple-kan potensi masyarakat. Model pembanguna yang demikian pada hakikatnya merupakan gaya pembangunan delivered development. Kecenderungan menerapkan gaya pembangunan ini cenderung menumbuhkan hubungan dependensi antara rakyat dan proyek pembangunan atau antara rakyat dengan birokrat. Karenanya, sifatnya menjadi disempowering, menekan kemampuan masyarakat untuk mengaktualisasikan potensinya.
Banyaknya mortality rate proyek-proyek pembangunan merefleksikan lemahnya sustainability proyek tersebut (Tjokroaminoto, 1996) yang di cirikan sebagai berikut: prakarsa biasanya di mulai dari pusat dalam bentuk rencana formal; proses penyusunan program bersifat statsis dan didominasi oleh pendapat pakar atau teknokrat; teklnologi yang di gunakan bersifat scientific dan berasal dari luar; mekanisme kelembagaanya bersifat top down; pertumbuhannya cepat, tetapi bersifat mekanistik; organisatornya para pakar specialis; evaluasinya bersifat eksternal dan berorientasi pada impact; dan fokus perhatiannnya adalah bagaimana dapat menyelesaikan proyek tepat pada waktunya. Kelemahannya terletak pada ketidakmampuannya mencapai kondisi self-generation of input sehingga membahayakan keberlanjutan proyek pembangunan tersebut.
Sehinga interpretasi lain sustainable development di dorong oleh adanya kenyataan tingginya mortality of Rate proyek–proyek pembangunan di negara-negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan itu berkembang dengan kekuatan sendiri. Dalam konteks ini, sustaianble development dapat di artikan sebagai
"The ability of a development project to generate sufficiently a net surplus as input for further development"
Oleh karena itu, menurut Prof Moeljarto Tjokroaminoto (1996) Kedua interpretasi diatas menunjukan kualitas untuk tumbuh dengan kekuatan senfdiri. Keduanya menyangkut hubungan yang optimal antara input dan output. Perbedaanya nampak terletak pada level of analysis-nya. Interpretasi pertama pada derajat makro dan interpretasi kedua pada derajat mikro. (MAA, 2009)
Senin, 27 April 2009
Sejak beberapa tahun yang lalu hingga saat ini cuaca kian tidak menentu, Sejumlah daerah terendam banjir, tanah longsor, banjir bandang, rob, hujan badai, munculnya sumber gas alam di permukiman warga dan yang belum lama ini bencana runtuhnya spillway (baca: tanggul), situ gintung Tangerang Selatan, Banten. Diakui atau tidak keadan ini diakibatkan oleh pemanasan global, yaitu fenomena naiknya suhu rata-rata permukaan bumi akibat jumlah emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, CH4,) yang meningkat di atmosfer, laut dan daratan bumi. Pemanasan global akan diikuti adanya perubahan iklim, seperti naiknya curah hujan di daerah lain, sementara di daerah lain kekurangan curah hujan (Murdiyarso, 2003)
Menurut Soerjani (2008) pembangunan suatu daerah selalu didasarkan kepada pemanfaatan suatu sumber daya alam. Lebih lanjut, untuk menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi, maka perencanaan pembangunan, pengelolaan, dan penyelamatan perlu diatur oleh peraturan perundangan yang mengedepankan pelestarian lingkungan. Melalui peraturan perundang-undangan, pemerintah terus mempersempit ruang gerak bagi para polluter dan emitter, agar terciptanya kesadaran lingkungan yang bersih (greener). Peraturan perundangan yang mengatur aspek hukum lingkungan di Indonesia pada dasarnya harus berorientasi pada ekologi yang meliputi aspek; hukum tata lingkungan, hukum perlindungan lingkungan, hukum kesehatan lingkungan, dan hukum pencemaran lingkungan.
Terjadinya bencana banjir, longsor, rob, misalnya lebih diakibatkan oleh terganggunya keseimbangan alam. Hutan sebagai daerah tangkapan air (catchment area), danau/waduk sebagai daerah resapan dan hutan bakau sebagai pencegah erosi dan DAS sebagai konservasi tanah dan tata air sebagai kesatuan fungsi bagi kelangsungan hidup ekosistem di dalamnya. Dimana hutan merupakan bagian dari komponen penentu kestabilan alam. Berkaitan dengan pemanasan global, maka fungsi dasar hutan sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2 (reaksi fotosintesis) menjadi sangat penting dan murah. Lihat hasil konvensi perubahan iklim yang tertuang dalam protokol Kyoto, yang antara lain mengembalikan emisi CO2 pada tahun 1990. Sehingga Hutan yang telah di anugerahkan oleh sang pencipta dapat dikembalikan fungsinya secara utuh sebagai penentu kesetabilan alam yang terus dijaga kelestariannnya.
Paradigma baru arah pembangunan yang berkelanjutan yaitu sustainable chemistry/green chemistry sebagai suatu solusi global menuju pembangunan bersih. Sebagai contoh di negara Amerika Serikat peran green chemistry mendapat begitu banyak dukungan, baik dari akademisi, industri dan pemerintah. Hal ini dibuktikan pada sejumlah award yang diberikan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Misalnya President Clinton mengumumkan “Presidential Green Chemistry Challenge Awards Program” pada Maret 1995. Selain menerima penghargaan “Presidential Green Chemistry Challenge” para pemenang juga menerima penghargaan “McGraw-Hill Environmental Champions”.
Selanjutnya, diharapkan dapat merubah arah teknologi yang diadopsi oleh industry mengikuti prinsip ‘Green’. Oleh karena itu menjadi tantangan besar bagi chemist, engineer dan environmentalist untuk mengembangkan teknologi baru sejalan dengan prinsip green chemistry. (Werner & Anastas 2002). Dengan meningkatkan hubungan kerjasama antara akademisi, pemerintah, dan industry akan mempercepat inovasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip green chemistry. Dengan kata lain, para akademisi muda sangat membutuhkan para penggiat industry yang siap merubah teknologi yang selama ini digunakan menjadi teknologi baru. Selanjutnya akan dijadikan role model bagi para akademisi muda untuk terus mendalami green chemistry agar tujuan penyelamatan lingkungan mendapat dukungan oleh berbagai pihak. selanjutnya menjadi nilai investasi tersendiri bagi prediksi kondisi lingkungan di masa mendatang. Oleh karena itu, kesuksesan dalam suatu studi kasus mengenai aplikasi green chemistry dalam industri sangat penting.
Sementara di Indonesia sendiri, melalui Program Adiwiyata misalnya, yaitu salah satu program Kementrian Negara Lingkungan Hidup dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan. Di mana pelaksanaannya dijalankan oleh Pemerintah Daerah setempat BLHD/Bapedalda Provinsi), bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi dan pihak swasta lainnya (blhd.banten.go.id). Sama halnya dengan pemerintah Amerika, Program Adiwiyata kementrian Lingkungan Hidup Indonesia juga memeberikan reward bagi sekolah yang berhasil menciptakan kesadaran lingkungan masyarakatnya.
Dalam hal ini, Provinsi Banten sebagai provinsi baru yang dikaruniai kekayaan sangat besar, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain, serta komplek-komplek ‘perindustrian’ yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies dan ekosistem. Sejumlah proyek pembangunan di pastikan akan di laksanakan dalam waktu dekat. Sehingga di perlukan perencanaan tata ruang yang mengedepankan sustainable development, yang tidak semata-mata hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Untuk berani mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Yang selanjutnya menjadi aset berharga di kemudian hari bagi kehidupan di masa mendatang, sehingga penting sekali untuk terus dijaga kelestariannya. (alimakbar-komunitasgreenchemistry)
Rabu, 22 April 2009
PSDAL
(Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) 2001, Hotel Hilton Jakarta, 21 Pebruari 2001)
Hutan merupakan sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah tersebut hutan mempunyai nilai filosofi yang sangat dalam bagi kepentingan umat manusia. Dengan segala kekayaan alam yang dikandungnya hutan memberikan kehidupan bagi makhluk hidup di bumi ini terutama bagi umat manusia. Hutan tidak saja memberikan kehidupan bagi masyarakat yang menempatinya tetapi juga masyarakat di perkotaan.
Namun demikian nilai filosofi hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti hakekat yang terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Pengelolaan hutan lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan ekonomi semata. Dan bahkan negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan.
Sebagai akibat dari pengelolaan hutan dengan cara tersebut hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat tajam. Luas hutan berkurang drastis, sedangkan hutan yang tersisa juga mengalami kerusakan yang cukup parah. Menurut Prof. Otto Soemarwoto ( Kompas, 6 Pebruari 2001 ) di Jawa luas hutan tinggal 9% sampai 10% dari luas daratan, sedangkan di luar Jawa kerusakan hutan mencapai 1-1,5 juta hektar per tahun.
Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan saat ini adalah kondisi hutan yang mengalami degradasi cukup tajam. Kondisi ini mengakibatkan hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestarian alam. Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan menunjukkan keseimbangan dan kelestarian alam yang makin terganggu.
Pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini telah menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah dan masyarakat setempat. Pemerintah pusat mendominasi pengelolaan hutan melalui beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau memberikan konsesi kepada swasta. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepentingan pusat dan sering mengabaikan kepentingan masyarakat daerah. Sehingga pengelolaan hutan yang semula bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat hanya mensejahterakan segelintir orang dan bahkan juga menimbulkan penderitaan bagi masyarakat setempat.
Kesalahan pengelolaan hutan oleh pusat dan penyalahgunaan HPH oleh beberapa pengusaha telah mengakibatkan luas hutan berkurang drastis dan kerusakan hutan semakin parah. Setiap tahunnya terjadi degradasi hutan sebesar 1,7 juta Ha, sehingga di Sumatera luas hutan tinggal 27 % dan Kalimantan 34%. Penyebab kerusakan lainnya adalah penebangan liar (ilegal), kebakaran hutan dan penjarahan hutan yang dilakukan masyarakat maupun oknum aparat dan perusahaan swasta.
Jika kita identifikasi lebih lanjut penyebab dari kondisi hutan saat ini adalah kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan. Penyusunan rencana kegiatan dan penetapan kebijakan pengelolaan kehutanan selayaknya melibatkan pemerintah dan masyarakat di daerah. Namun demikian pusat selama ini tidak melibatkan daerah dalam penyusunan rencana dan penetapan regulasi tersebut. Sehingga pada pelaksanaan di lapangan sering timbul permasalahan dan konflik dengan masyarakat setempat.
Demikian juga dengan pemberian konsesi atau HPH kepada swasta maupun BUMN, pemerintah pusat tidak pernah membahas terlebih dahulu dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah biasanya dilibatkan setelah timbulnya permasalahan dan konflik dengan masyarakat.
Selanjutnya sebagai faktor pendorong percepatan kerusakan hutan adalah lemahnya pengawasan pusat terhadap pengelolaan hutan oleh BUMN maupun swasta dan penjarahan serta penebangan liar oleh oknum masyarakat.
Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa kondisi hutan saat ini merupakan hasil dari suatu rangkaian kesalahan mulai dari sentralisasi perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan sampai kepada lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan hutan. Dengan usaha merevitalisasi suatu kebijakan dan undang-undang mengenai pengelolaan hutan diharapkan dapat membantu proses pemeliharaan hutan. Disentralisasi merupakan salah satu usaha pegembangan otonomi daerah. Dengan adanya disentralisasi berarti adanya kewenangan kepada daerah untuk dapat mengelola hutan. Dengan peran daerah dalam pengelolaan hutan diharapkan dapat membantu mengurangi dampak kerusakan hutan.
Dengan semangat demokratisasi, pengembangan hak dan kreativitas serta keanekaragaman potensi dan karateristik sumber daya alam daerah maka desentral-isasi pengelolaan kehutanan diharapkan dapat melakukan koreksi terhadap kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
(oleh : Sindi Sehabudin, 27 Maret 2009)
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Permukaan bumi sebagian besar ditutupi oleh air (71%) sehingga keberadaan air ini ikut mempengaruhi iklim lingkungan kita. Makhluk hidup sangat membutuhkan air, dalam tubuh manusia misalnya terdapat sejumlah air 70% dari berat tubuh manusia. Di planet bumi dimana manusia berada, terdapat 97% dari total jumlah air yang ada merupakan air asin yang terdapat di laut, dan hanya sebanyak 3% air di bumi yang merupakan air tawar. Air tawar yang hanya berjumlah 3% dari total jumlah air di bumi tersebut terdapat di danau, sungai, tanah, tumbuhan, manusia, dan sebagian besar lainnya berbentuk gunung es yang terdapat di kutub utara dan selatan dan di puncak-puncak gunung (Miller 2002).
Berdasarkan atas siklus hidrologi maka air di bumi selalu dalam keadaan berpindah-pindah yang biasa disebut sebagai “siklus hidrologi”. “Air” dari danau, sungai, permukaan tanah, dan dari laut akan menguap oleh pengaruh panas matahari, uap air yang terbentuk masuk ke dalam atmosfir bumi menjadi “awan”. Awan di atmosfir bergerak akibat perbedaan tekanan panas dan membentur puncak gunung dan terjadi “hujan”. Hujan turun membasahi permukaan bumi dan mengalir kembali ke dalam tanah, ke sungai, ke danau dan ke laut. Sumber air tawar terdapat di permukaan tanah seperti di sungai, danau, air tanah dalam dan air tanah dangkal, di kutub dan di gunung berupa salju, serta air di atmosfir bumi berupa air hujan.
Ekosistem perairan merupakan suatu tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antar semua unsur lingkungan kehidupan yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup di perairan. Dengan definisi ini maka di dalam ekosistem perairan, unsur-unsur yang ada di lingkungan perairan secara alami akan membentuk hubugan timbal balik yang bersifat kompleks antar organisme hidup dan yang tidak hidup yang secara bersama-sama membentuk sistem ekologi.
Sumber pencemar air oleh akibat kegiatan alam biasanya berasal dari peristiwa peningkatan zat padat tersuspensi akibat erosi tanah, akibat banjir dan akibat intrusi air laut. Sedangkan sumber pencemar air oleh akibat kegiatan manusia misalnya berasal dari pengaruh kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, kegiatan pemanfaatan hutan, kegiatan penambangan, pertanian, transportasi dan lain-lain.
Umumnya penentuan kualitas suatu perairan dapat di amati melalui serangakain uji beberapa parameter, yaitu fisika yang terdiri dari bau, rasa, warna, suhu, kekeruhan. Kimiawi diantaranya anorganik, organik, logam berat, Pestisida. Mikrobiologi, bakteri escherichia coli (indikator pencemaran air oleh aktivitas manusia). Dan radioaktifitas.
Upaya pemantauan lingkungan guna mengelola dampak lingkungan pada perairan dapat pula dilakukan melalui dua cara yaitu :
1.Upaya pemantauan langsung, yaitu metode pemantauan yang biasanya dilakukan terhadap konsentrasi pencemar primer. Tergantung dari jenis zat pencemar, misalnya untuk pencemaran air dilakukan pemantauan kandungan oksigen pada media air, apabila kadar oksigen menipis ini berarti telah terjadi pencemaran di media air tersebut. Pemantauan secara langsung bisa saja dilakukan secara kas at mata pada badan air yang telah tercemar, misalnya apabila ditemukan adanya perubahan fisik pada badan air seperti bau, warna, kekeruhan, rasa, dan sebagainya.
2.Upaya pemantauan tidak langsung terhadap kodisi lingkungan perairan dapat digunakan beberapa indikator yang dapat menunjukkaan secara jelas bahwa telah terjadi suatu pencemaran. Misalnya untuk pencemaran air bersih dilakukan pengukuran terhadap kandungan bakteri coli (Eschericia coli) pada media air, apabila kandungan bakteri coli terlalu tinggi atau melampaui baku mutu maka hal ini berarti telah terjadi pencemaran pada air tersebut. Cara lain yang dapat dilakukan dalam pemantauan secara tidak langsung adalah dengan melakukan pengujian terhadap kondisi air seperti parameter COD, BOD, partikel tersuspensi, kadar nutrien yang terdapat dalam air, dan lain sebagainya.
3.Cara lain yang dapat digunakan sebagai indikator biologis dalam menilai pencemaran air adalah penggunaan jenis makhluk hidup misalnya pengujian coli, adanya coli yang meningkat berarti terjadi pencemaran buangan rumah tangga. Bentos dari jenis Tubifex sp dan Melanoides tuberculate dapat dijadikan sebagai indikator adalanya oksigen terlarut yang rendah dan padatan tersuspensi tinggi. Kangkung (Ipomoea aquatica) dapat dipakai sebagai indikator menentukan adanya unsur Cd, Hg, Cu, Mn, dan Zn dalam air. Alga biru (Microcystis sp) dapat digunakan sebagai indikator nitrogen konsentrasi yang tinggi pada air. Alga biru hijau (Anabaena sp) dapat digunakan sebagai indikator dampak penggunaan pupuk phospat. Eceng gondok (Eichornia crassipes) sebagai indikator pencemaran organik, dan lain sebagainya.
(M. ALI AKBAR-komunitasgreenchemistry, di sadur dari berbagai sumber)
Green Chemistry
“Green Chemistry is the design of
chemical products and processes that
reduce or eliminate the use and
generation of hazardous compounds.”
Paul Anastas & John Warner
Sejak zaman dahulu, para pe-Riset terus berusaha mencari material baru yang lebih sederhana dan murah. Berbagai penelitian dilakukan mulai dari skala kecil hingga skala besar. Pencarian bahan dilakukan mengikuti kemana arah survey geologi mengarahakan, bahkan hingga keluar batas benua (overseas). Seakan tak ada hentinya manusia terus berusaha menyederhanakan lifestyle-nya dengan barang-barang hasil temuannya. Dengan begitu road map teknologi sudah tidak lagi bisa diikuti secara seksama. Karena begitu prduktifnya publikasi riset-riset berskala internasional, yang dengan cepat dikembangkan menjadi produk baru yang jenis dan jumlahnya begitu besar. Teknologi mengupayakan kecepatan dan kesederhanaan dalam hal pemenuhan kebutuhan manusia, yang dengan itu orang tidak lagi merasakan kesulitan. Apa pun yang diinginkannya telah beredar bebas di pasaran. Hingga terkadang suatu produk tidak mudah dipahami langsung kegunaannya. Maka dari itu banyak pula anggapan miring mengenai peredaran produk (baca: barang-barang) yang seakan masyarakat dengan begitu terpaksa untuk membelinya tanpa menyadari apa fungsinya, dan sejauh mana nilai kebutuhannya.
Dibalik keunggulan teknolgi itu, sebenarnya terdapat ancaman besar bagi manusianya sendiri, bahkan alam tempat tinggalnya. karena tuntutan pertumbuhan ekonomi harus terus naik, bagaimanapun caranya. Pembangunan terus diupayakan guna menyeimbangkan produktifitas dengan kebutuhan konsumen. Pabrik-pabrik terus beroperasi tanpa henti sepanjang tahun melemparkan produk-produk unggulannya kepada konsumen, yang bersamaan itu menerbangkan polusinya ke udara dan mengaliri tanah dengan cairan sisa limbah produksi. Tidak hanya itu saja pola hidup konsumtif juga menjadi penyumbang produksi limbah yang tidak kalah besarnya. Kalau keadaan itu tidak segera di tangani, akan berakibat fatal bagi daya dukung lingkungan.
Media elektronik maupun non elektronik seharusnya menjadi yang terdepan menceritakan bagaimana daya dukung lingkungan tidak cukup kuat di bebani begitu banyaknya bahan-bahan asing di lingkungannya. Memang benar alam memilki cara tersendiri untuk meneteralisir/menyeimbangkan zat-zat asing (xenobiotic) yang masuk di lingkungannya. Namun tetap memiliki batas maksimum kapan lingkungan dikatakan telah tercemar. Hanya menunggu hitungan waktu. Tidak juga manusia sebagai ‘pengelola’ bumi yang diberi kebebasan seluasnya-luasnya untuk memanfaatkan sumberdaya apa saja yang terkandung didalamnya. Namun begitu, harus tetap memikirkan kehidupan dimasa mendatang. (alimakbar)
Sustainability
"Meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their needs."
The U.N. Brundtland Commission (1987)